Mengenal Tradisi Dugderan di Semarang, Sejarah, dan Filosofinya
ERA.id - Tradisi dugderan di Semarang merupakan ciri khas yang dimiliki oleh ibu kota Jawa Tengah itu saat menyambut bulan Ramadan. Tahun ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang akan menggelar tradisi dugderan secara lebih meriah dibandingkan tahun sebelumnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Semarang, Iswar Aminudin. Ini tidak terlepas dari status pandemi Covid-19 yang telah dicabut oleh pemerintah pusat.
"Pasti akan lebih meriah, kemarin sudah dirumuskan," terang Iswar, Selasa, 7 Maret 2023.
Tempat dan Tanggal Tradisi Dugderan di Semarang
Dia mengatakan bahwa acara Dugderan di Kota Semarang sudah tiga tahu tidak digelar secara meriah. Tahun ini acara tersebut akan lebih meriah.
"Tahun ini masyarakat sudah bisa menyaksikan Dugderan di Kota Semarang lebih meriah," lanjutnya.
Mekanisme acara dugderan telah dipersiapkan oleh Pemkot Semarang supaya masyarakat dapat hadir dan menikmati acara dengan aman dan nyaman.
"Acaranya bakal digelar 20—21 Maret 2023," tambah Iswar.
Tradisi dugderan di Semarang akan dilaksanakan di Alun-Alun Kota Semarang, dekat kawasan Pasar Johar. Iswar mengatakan, pada acara tersebut akan dilakukan penyerahan surat dari para ulama kepada Wali Kota Semarang.
Dia juga menyebutkan, konsep acara dugderan tahun ini tidak berbeda dengan acara-acara sebelumnya. Namun, kali ini acara akan digelar dengan lebih besar sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
Mengenal Tradisi Dugderan di Semarang, Jawa Tengah
Dikutip Era.id dari BPAD Jogjaprov, dugderan merupakan upacara yang digelar setiap menjelang datangnya bulan Ramadan. Tradisi ini mencerminkan perpaduan tiga etnis masyoritas di Semarang, yaitu Jawa, Tionghoa, dan Arab.
Nama dugderan berasal dari kata dugder. Dug merupakan onomatope dari bunyi beduk yang ditabuh, sedangkan der merupakan onomatope dari bunyi meriam yang ditembakkan. Bunyi dug dan der menjadi tanda datangnya awal Ramadan.
Berdasarkan sejarahnya, diperkirakan tradisi dugderan mulai dilakukan pada 1881, yaitu saat Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. Latar belakang diadakannya upacara ini adalah perbedaan pendapat mengenai awal puasa Ramadan.
Maka, didapatkan kesepakatan untuk menyamakan persepsi masyarakat terkait penentuan awal Ramadan, yaitu dengan menabuh beduk di Masjid Agung Kauman dan pembunyian meriam di halaman kabupaten. Masing-masing dibunyikan sebanyak tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa Ramadan melalui masjid.
Perayaan ini menjadi hal yang lebih menarik dengan banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya. Barang dagangan yang ditawarkan juga sangat beragam, seperti makanan, minuman, dan mainan anak-anak.
Tradisi dugderan di Semarang juga memiliki ikon berupa Warak Ngendhog, yaitu sosok binatang berkaki empat (kambing) yang memiliki kepala mirip naga. Warak Ngendhog menjadi wujud perpaduan budaya antara Jawa, Arab, Islam, dan Tionghoa.