Kubu Novanto Sayangkan Jadwal Persidangan Dipercepat
Kuasa hukum Setya Novanto, Firman Wijaya mengatakan jadwal persidangan kali ini terlalu terburu-buru. Sebab, saat ini proses praperadilan yang dilayangkan Novanto masih berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Bukan soal cepat atau apa-apa. Kan praperadilan sudah menyatakan tujuh hari kenapa sih kita ngga menghormati praperadilan saja. Kenapa harus buru-buru, natural judicial process itu penting. Proses yang normal itu ada keseimbangan," ungkap Firman di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/12/2017).
Maqdir Ismail yang datang terpisah dengan Firman Wijaya juga menyesalkan pelimpahan perkara pokok kliennya. Menurutnya, sidang ini juga terkesan terburu-buru, baik dari segi pelimpahan maupun persidangan karena tumpang tindih dengan proses sidang praperadilan yang tengah berjalan.
"Ini sesuatu yang patut disesali karena ini bukan tindakan yang bijak dalam proses penegakkan hukum di negara kita. Mestinya KPK tidak melimpahkan perkara ini ke pengadilan sambil menunggu putusan praperadilan," ungkap Maqdir.
Menurutnya, praperadilan itu sarana untuk menguji apakah proses penetapan tersangka sudah sah atau belum, sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Terkait kehadiran Novanto dalam persidangan ini, kedua kuasa hukum tersebut belum mengetahui apakah Novanto akan hadir. Namun Firman Wijaya menjelaskan bila memang Novanto tidak sehat, maka sebaiknya persidangan ini dilakukan dengan tidak terburu-buru.
"Saya belum bisa memastikan apapun. Kita tunggu proses ini berjalan normal. Normal dalam artian ya semua aspek dipenuhi. Terutama aspek kesehatan. Orang tidak sehat masa dipaksa-paksa. Pemahaman sehat kan bisa dalam fisik dan psikis. Kalau hanya aspek fisik tapi aspek psikisnya seorang itu tidak sehat itu juga masalah," ungkap Firman.
Novanto yang saat itu tengah menjabat sebagai Ketua Fraksi DPR RI dianggap menjembatani tindak korupsi dengan membantu memuluskan pengesahan anggaran untuk proyek tersebut. Proyek yang memiliki total nilai sebesar Rp 5,9 triliyun ini kemudian merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.