Denny Indrayana soal Putusan MK Proporsional Terbuka: Ada Tiga Kalimat Saya yang Secara Publik "Dibelokkan"
ERA.id - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana menanggapi tudingan pada dirinya lantaran Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan putusan sistem pemilu tetap dengan proporsional terbuka. Ia menyebut ada kalimatnya soal informasi putusan pemilu yang dibelokkan.
"Memang saya tidak mengatakan MK sudah memutuskan. Ada tiga kalimat yang ingin saya highlight yang kemudian secara publik itu dibelokkan," kata Denny dikutip dari Youtube Akbar Faisal Uncencored, Selasa (20/6/2023).
Ia menjelaskan saat menulis pernyataannya dengan sadar telah memilih diksi, "saya mengatakan mendapatkan informasi". Tapi bukan mendapatkan bocoran.
"Saya sengaja tidak menulis mendapatkan bocoran, karena bocoran itu berkonsekuensi pihak di dalam bocor, dan itu bisa berbahaya. Saya mengatakan mendapatkan informasi," kata Denny.
Soal sumber informasinya, ia ingin menyimpan nama tersebut dan pada saatnya akan disampaikan kepada yang berwenang. Apalagi, yang bersangkutan meminta namanya tak perlu dibuka karena khawatir tambah ramai.
"Kedua saya menggunakan kata MK akan, tidak telah memutuskan. Saya menggunakan kata akan, artinya belum, belum ada keputusan. Betul Prof Saldi Isra mengatakan belum ada keputusan, yang mengatakan sudah siapa, saya mengatakan akan, akan berarti will, belum ada," katanya.
Lalu, ketiga, ia menegaskan dengan sadar dan penuh pertimbangan, tidak menggunakan kata A1. Ia mengaku memang kata itu terlintas saat mau menulis drafnya. Tapi kata A1 tersebut ia kesampingkan.
"Saya menggunakan istilah dari sumber yang kredibel, dan kemudian Prof Mahfud dalam tweetnya mengatakan A1, itu pilihan kata Prof Mahfud, dan di pemberitaan berkata informasi bocor A1, ya saya tidak bisa mengendalikan orang menggunakan diksi yan tidak saya gunakan," katanya.
Ia menambahkan sedari awal berharap informasi yang ia dapatkan berubah dan tidak menjadi kenyataan. Sebab ia ingin sistem pemilu tetap proporsional terbuka di banyak kesempatan.
"Yang saya advokasi adalah MK memutuskan sistem proporsional terbuka tetap dilaksanakan, karena satu open legal policy bukan kewenangan MK, dua kalau dipaksakan bisa menimbulkan great lock kebuntuan," katanya.
"Karena parlemen tidak mau, KPU saat mau merubah aturan pelaksanaannya menurut UU Pemilu wajib berkonsultasi dan mengikat kata UU Pemilu. Saat 8 partai menolak tidak setuju, jadilah deadlock dan bisa menunda pemilu, itu salah satu aja akibatnya, karena itu saya mendorong ini tidak menjadi tertutup. Kapan kita bisa mendorongnya, tentu sebelum putusan dibacakan," katanya.