Mengenal Apa Itu Surat Edaran Mahkamah Agung dan Kedudukannya

ERA.id - Mahkamah Agung (MA) telah resmi melarang hakim mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan yang ditandatangani oleh Ketua MA, Muhammad Syarifuddin.

Dari hal tersebut tampaklah bahwa surat edaran Mahkamah Agung memiliki kekuatan hukum yang kuat. Sebenarnya, apa itu surat Edaran Mahkamah Agung? Simak penjelasan berikut yang dirangkum Era.id dari jurnal berjudul Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Positif di Indonesia.

Apa Itu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)?

Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, meski sebagian besar isi SEMA berfungsi sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel), tetapi SEMA bisa digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan dan punya kekuatan hukum mengikat seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 Ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2012. Ini karena pembentukan SEMA didasari oleh perintah Pasal 79 UU Mahkamah Agung.

Gedung Mahkamah Agung (situs web resmi MA)

Ditinjau dari segi kewenangan, SEMA dibentuk berdasarkan kewenangan pengaturan Mahkamah Agung. Pengaturan ini berhubungan dengan fungsi yang lain, yaitu administrasi, nasihat, pengawasan, dan peradilan.

Secara teori, menentukan kedudukan SEMa dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah hal yang tidak mudah. Ini terjadi karena tidak ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan.

Perlu diketahui, kedudukan SEMA dalam pranata Mahmamah Agung—berdasarkan bentuk formal dan isi—berada di bawah peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Alasan dari hal tersebut adalah PERMA dibuat dalam bentuk formal yang lebih sempurna sebagai salah bentuk peraturan.

SEMA bisa dibuat berdasarkan PERMA. Selain itu, PERMA bisa membatalkan suatu SEMA. Sebagai contoh, SEMA Nomor 6 Tahun 1967 dibatalkan oleh PERMA Nomor 1 Tahun 1969.

Ditinjau dari subjek penggunanya, SEMA bisa digolongkan ke dalam aturan kebijakan (bleidsregel) sebab biasanya ditunjukan kepada hakim, panitera, dan jabatan lain di pengadilan.

Bentuk formal SEMA juga lebih mendekati peraturan kebijakan daripada peraturan perundang-undangan pada umumnya. Sementara, jika dilihat dari segi isi, tidak semua SEMA bisa digolongkan sebagai aturan kebijakan (bleidsregel).

Dasar hukum keberlakuan SEMA bisa dilihat dalam Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal tersebut, undang-undang memberikan kewenangan kepada MA untuk membentuk hukum atau rule making power.

Hal tersebut dilakukan supaya MA bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Meski demikian, tidak semua SEMA bisa dikategorikan menjalankan fungsi rule making power, hanya SEMA yang mengatur hukum acara dan mengisi kekosongan hukum.

Berdasarkan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, SEMA yang didasari ketentuan Pasal 79 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA memiliki kekuatan hukum mengikat dan bisa digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan.