Perjalananku Menempuh Jarak 80 Km Antara Karawang-Jakarta Demi Dapur Ngebul
Kalian sedang membaca rubrik Stori yang merupakan berita dengan pendekatan jurnalisme sastrawi. Dalam tulisan kali ini, kami mewawancarai pekerja yang berumah di Karawang dan bekerja di Jakarta. Namanya Fandhy, ia pulang-pergi setiap Senin-Jumat menempuh jarak 160 km lebih dan waktu sekitar tiga jam sekali jalan. Kisah Fandhy dituturkan ulang dalam format sudut pandang orang pertama oleh penulis ERA Agus Ghulam. Selamat mengarungi cerita!
ERA.id - Setiap kali ide untuk mengakhiri hidup melintas, aku kembali mengumpulkan tekad untuk terus hidup. Keduanya sama-sama butuh nyali, tetapi yang pertama kedengaran lebih pengecut sehingga aku menghindarinya. Mati pun aku nanti, tetap ingin menjalaninya dengan bangga tanpa penyesalan, dikelilingi orang-orang terkasih.
Namaku Fandhy, tahun ini genap 30 tahun aku menghabiskan jatah hidupku. Meski pikiran untuk hidup masih lebih menyala ketimbang mati, tapi aku sampai di fase di mana aku tidak memimpikan apa pun atau ingin menjadi apa-apa. Hanya menghitung hari dan menanti hari-hari tua datang dengan pasti. Semuanya berlalu begitu saja seperti kereta yang mengantarku pulang-pergi kerja Karawang-Jakarta tiap hari.
September 2023, hampir setahun aku bekerja sebagai tim kreatif di salah satu kantor event organizer di Blok M, Jakarta Selatan. Jaraknya di peta sekitar 80 kilometer dari rumahku di Karawang, Jawa Barat. Setiap hari kerja rasanya seperti perjalanan mencari kitab suci yang melelahkan. Entah sampai kapan.
Nanti akan kuceritakan tentang perjalananku yang kini pulang-pergi Karawang-Jakarta. Sebelum itu, mari dengarkan kisahku hingga berakhir sampai di sini. Semua berawal dari mimpi yang pupus setelah pandemi sial datang.
Jauh sebelum aku bekerja sebagai penulis ide-ide kreatif di Blok M, aku lebih dulu mengisi posisi sebagai operator produksi di Perum Peruri: menyortir barang; menghitung stok bahan-bahan produksi; mengemasnya; dan menulis laporan barang yang keluar-masuk.
Tak terasa sudah lewat tujuh tahun sejak aku pertama kali bekerja di perusahaan percetakan uang itu. Perusahaan yang pernah jadi mimpiku.
Di seberang jalan yang tiap hari kulewati pulang-pergi kerja, tak jauh dari kantor lamaku, berdiri deretan rumah dinas pegawai tetap Perum Peruri. Aku pernah bermimpi untuk tinggal di sana dan diangkat sebagai pegawai tetap pada tahun kelima. Tiap menatap berderet-deret rumah itu dari jok motorku, aku selalu menabahkan diri dan berujar dalam batin, “Sebentar lagi, sebentar lagi aku juga akan menghuninya.”
Sayang beribu sayang, tahun kelimaku di sana bertepatan dengan datangnya pandemi celaka yang menyapu semuanya, baik nyawa banyak orang maupun mimpi kecilku. Sepucuk surat datang, bukannya menahbiskanku jadi pegawai tetap, tetapi malah menenggelamkan karierku. Seketika aku jadi pengangguran.
Setelahnya, yang kuingat hanya penolakan demi penolakan atas lamaran kerjaku. Waktu itu, aku pikir bumi memang sedang sekarat dan penghuninya sedang tidak baik-baik saja. Di luar sana pastilah ada ratusan ribu pemburu lowongan yang bernasib sama denganku atau lebih tragis lagi.
Lebih dari setengah tahun cari kerja sana-sini, aku baru diterima jadi kurir pada bulan Agustus 2021. Lebih dari 500 paket setiap minggunya kuantar ke puluhan titik di Karawang. Dan aku hanya bertahan selama lima bulan melakoninya, setelah jam kerja terasa mulai keterlaluan dan daya hidupku merosot jauh. Sepanjang menjadi kurir, jangankan bermimpi, waktu untuk membaca atau bermain voli yang menjadi hobiku saja sudah kehabisan. Pada akhirnya aku memilih berhenti, pamit.
Dari karir terakhir sebagai kurir, aku sempat bekerja menjadi staf penagihan selama tiga bulan, sebelum akhirnya mendapatkan tawaran yang lebih baik di Jakarta–ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Beginilah kisahku.
I used to cry, but now I hold my head up high
Memilih kerja di Jakarta sementara tinggal di Karawang bukan pilihan gampang seperti menjentikkan jari. Aku yang dihadapkan pada pilihan itu tentu sadar. Namun, aku yang juga pernah kehilangan pekerjaan dan tak mendapatkannya kembali selama berbulan-bulan merasa pilihan bekerja di Jakarta lebih waras dan masuk akal. Sebab tak banyak pilihan yang tersedia bagi orang-orang sepertiku yang lahir tanpa sendok emas di mulut.
Aku pernah menangis, tapi kini tak ada waktu lagi untuk meratapi nasib. Waktunya berjalan dengan kepala terangkat. Tiap kurang selangkah lagi kakiku menuju putus asa, potongan lagu CAKE yang sering kudengar di kereta berputar kembali di kepala:
I spent so many nights just feeling sorry for myself
I used to cry but now I hold my head up high
Jika mengingat hidup yang sudah kulewati sepanjang 30 tahun ini dan istri yang menunggu di rumah, perjalanan pulang-pergi Karawang-Jakarta terasa lebih enteng. Meski hanya sebatas perasaan, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat siapa pun bertahan, setidaknya buatku.
Perjalanan itu sendiri kutempuh paling cepat dalam waktu tiga jam. Estimasinya, aku memacu motorku ke Stasiun Cikarang kurang lebih setengah jam. Dari situ, tinggal menunggu kereta menuju Duri Angke via Manggarai dan turun di Stasiun Sudirman. Aku bisa menghabiskan sekitar 1,5 jam di kereta, lalu berjalan kaki ke Stasiun Dukuh Atas selama lima menit dan menumpang MRT hingga Blok M.
Dengan langkah kakiku yang panjang dan bergegas, jarak kantorku hanya 10 menit jalan kaki dari Stasiun Blok M. Dengan skema tadi, aku yang biasanya berangkat kerja jam 8 pagi bakal sampai kantor jam 11 lebih sedikit. Itu jika tak ada kendala seperti kecelakaan yang menutup jalan; motor mogok; atau jadwal kereta yang sesekali melenceng. Apes-apesnya, waktuku bisa habis lebih dari empat jam sekali jalan.
Rute yang biasa kutempuh barusan (Karawang-Cikarang-Sudirman-Dukuh Atas-Blok M) adalah hasil kalkulasi dan berbagai percobaan menempuh rute lain. Berdasarkan perhitungan kasarku, pilihan tadi yang paling efisien, baik dari segi waktu, tenaga, maupun ongkos. Aku bisa saja naik kereta dari Karawang ke Cikarang alih-alih motoran. Namun, jam kereta lokal tak bisa diprediksi keberangkatannya.
Rute lain adalah naik bus jurusan Cikarang-Blok M dari Lippo City Walk dekat Tol Cikarang Barat. Sayangnya, jarak rumah ke tol kurang lebih 40 kilometer dan melewati titik-titik macet yang bikin pusing. Aku bisa saja memacu motor melewati Kalimalang yang relatif lancar, tetapi di malam hari rute itu rawan begal. Aku masih sayang motorku dan nyawaku, maka opsi itu kusingkirkan.
Rutinitas yang terdengar melelahkan tadi sudah kulakoni selama 11 bulan, tiap Senin-Jumat tanpa jeda. Sampai di kantor jam 11 pagi, sampai di rumah lagi jam 11 malam. Aku beruntung masih sanggup mempertahankan kewarasanku.
Jika kalian pikir pengalamanku sudah paling buruk, tunggu sampai kalian mendengar cerita seorang bapak yang bekerja Jogja-Semarang (112 kilometer) naik motor setiap hari. Para pekerja ibu kota yang berangkat dari Karawang juga bukan aku seorang. Semuanya orang nyata dengan darah dan daging, bukan tokoh dalam fiksi. Aku hanya sebongkah gir dalam mesin di antara banyak gir lain yang lebih kecil, lebih besar, lebih tebal, atau lebih pipih.
Ada yang bertanya, mengapa tak mengontrak di Jakarta saja, dekat dengan kantor? Tentu mudah mengatakannya. Andaikan bisa seperti itu, segalanya tentu bakal lebih indah. Namun, ada banyak hal yang membuatku bertahan–atau tertahan–di Karawang.
Pertama, aku sudah berkeluarga. Kedua, istriku bekerja di Karawang. Ketiga, rumahku juga di Karawang. Selanjutnya, masalah uang. Aku sudah pernah menghitung semua biaya untuk ngekos di Jakarta, hasilnya justru lebih mahal ketimbang pulang-pergi Karawang-Jakarta yang hanya menghabiskan paling banter Rp35 ribu per hari (parkir motor Rp5-10 ribu, kereta Rp10 ribu, dan MRT Rp14 ribu).
Melihat kehidupan dari gerbong kereta
Menghabiskan hidup 3 jam sehari dalam gerbong kereta membuatku sadar, salah satu momen bengong terbaik–selain saat buang hajat–adalah ketika menunggu sampai stasiun tujuan. Apalagi jika masih kebagian tempat duduk, sambil menyumpal telinga dengan headset dan melihat orang lalu-lalang berebut tempat, bengong dalam gerbong rasanya seperti meditasi.
Beruntung para penumpang dari stasiun paling ujung punya kemewahan bebas memilih kursi yang masih banyak kosongnya. Otomatis aku selalu bisa duduk, setidaknya sepanjang setengah perjalanan. Ketika itulah aku biasa membaca buku yang selalu kubawa dalam tas untuk menyingkat waktu perjalanan. Sebab membaca buku kala berdiri hanya mengundang penyakit; menunggu badan oleng jatuh saat kereta berguncang.
Dari stasiun ke stasiun, gerbong akan terasa kian sesaknya. Rute Cikarang bakal mulai dipadati penumpang ketika masuk Stasiun Tambun dan semakin ramai saat berhenti di Bekasi. Di setiap pemberhentian, aku hanya berharap tak ada lansia, ibu hamil, atau penumpang prioritas lainnya yang masuk ke gerbongku. Dengan begitu aku bisa terus duduk dengan tenang tanpa perasaan bersalah.
Namun, seringnya aku harus merelakan kursi kepada mereka yang lebih berhak. Dan jika harus berdiri, aku akan memilih posisi dekat pintu, bersandar kursi di pojokan, sambil mengamati orang-orang: yang pura-pura tidur di kursinya atau mereka yang menonton apa pun di layar hpnya. Di kereta, segala keegoisan sedikit bisa dimaklumi.
Mendekati Jatinegara, laju kereta akan mulai melambat dan berhenti sebelum masuk stasiun, sebab jalur itu banyak dilewati kereta jarak jauh. Tiap gerbong harus menunggu gilirannya dengan sabar agar tak celaka. Dan sesampainya di Jatinegara, masing-masing penumpang sadar bahwa mereka harus bersiap menghadapi pertempuran yang sebenarnya, Manggarai.
Manggarai adalah neraka bagi penumpang kereta. Di sana semua hanya memikirkan dirinya masing-masing seperti di Padang Mahsyar. Yang di dalam kereta berebut keluar, yang di luar berebut masuk. Penumpang dalam gerbong berdesakan dari segala arah, membuat yang berdiri bisa tetap berdiri tanpa mengeluarkan tenaga karena diapit kanan-kiri, depan-belakang, oleh lautan penumpang.
Untungnya neraka itu hanya berlangsung sejenak. Di Sudirman, kekusutan dari Manggarai terurai begitu saja. Banyak penumpang turun dan menyebar seperti lalat dikipasi. Aku pun memilih berhenti di sini sebelum berganti moda transportasi. Sesaat setelah keluar dari gerbong, rasanya kualitas udara Jakarta jadi yang paling bagus.
Entah sampai kapan rutinitas Karawang-Jakarta ini bakal kujalani. Tentu aku tak ingin selamanya begini. Ada kalanya aku merasa kereta dan jalan menjadi rumahku, sementara rumahku di Karawang justru jadi tempat singgahnya. Kalau memang harus bermimpi lagi, mimpiku sederhana saja, bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga ketimbang di luar rumah, tanpa kepikiran cicilan sana-sini.