Wacana Dua Calon pada Pilpres 2024, HNW Ingatkan Pentingnya Hentikan Polarisasi Seperti Pilpres 2014 dan 2019

ERA.id - Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengkritisi kembali mencuatnya isu Pilpres 2024 akan hanya diikuti oleh dua pasangan calon saja, dan mengingatkan ketentuan UUD NRI 1945, terutama Pasal 6A ayat (4), yang lebih akomodatif terhadap adanya lebih dari dua pasangan calon dalam pemilihan presiden (pilpres).

Hal itu, imbuh Hidayat, sejatinya dihadirkan untuk merawat demokrasi konstitusional di Indonesia, serta menghindarkan pembelahan dan polarisasi di kalangan masyarakat akibat pemilihan presiden secara langsung dengan hanya dua kandidat saja.

“Selain itu, masyarakat semakin cerdas, maka kemarin banyak menuntut ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dikoreksi ketentuan Presidensial Threshold 20 persen karena mengakibatkan bisa terjadinya polarisasi sebagaimana terjadi pada pilpres 2014 dan 2019 yang ditolak umumnya Rakyat Indonesia," ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu  (24/09/2023).

Menurutnya, masyarakat sangat perlu untuk ditampilkan lebih dari dua opsi dalam pemilihan Presiden/wakil Presiden saat Pilpres 2024 nanti. Jadi, apabila ada pihak yang memaksakan kehendak agar Pilpres 2024 diarahkan hanya diikuti oleh dua pasangan calon saja, selain tidak menghormati hak rakyat untuk mendapat alternatif pilihan pemimpin yang terbaik, juga bisa dinilai sebagai tidak merawat prinsip demokrasi konstitusional.

"Bahkan juga bisa dinilai sebagai ingin melanjutkan polarisasi dan pembelahan yang ditolak oleh mayoritas warga bangsa Indonesia, yang terjadi akibat pilpres hanya diikuti oleh dua kandidat saja,”katanya.

HNW sapaan akrabnya mengaku mendengar adanya sebagian pihak yang berusaha mendengungkan kembali Pilpres 2024 ini akan diikuti oleh hanya dua pasangan calon saja, dengan berbagai dalihnya. Salah satunya adalah bahwa dengan adanya dua pasangan calon, maka pilpres bisa berbiaya lebih murah, karena bisa dilangsungkan hanya satu putaran.

Namun, secara tegas, HNW membantah argumentasi yang tidak berdasar ini. Karena di era Reformasi inipun, Indonesia pernah dua kali menyelenggarakan Pemilihan Presiden yaitu pada tahun 2004 dan 2009, yang diikuti oleh lebih dari 3 pasang, malah pada tahun 2004 Pilpres terselenggara hingga dua putaran, tetapi tidak ada masalah dengan APBN dan tidak terjadi polarisasi dan pembelahan apalagi yang terus dirawat dan diwariskan hingga Pemilu berikutnya.

 “Demokrasi memang perlu ongkos, tapi kalau yang diinginkan adalah biaya termurah, maka kembali saja pada pola Pilpres pada zaman Orba, dimana Presiden dipilih oleh MPR. Hal yang tentu mereka tolak juga,” ujarnya.

Karenanya menurut HNW, justru biayanya lebih besar untuk memperbaiki keterbelahan masyarakat akibat adanya polarisasi terkait Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 yang hanya menyediakan dua pasangan calon.

"Kita masih merasakan keresahan masyarakat yang terbelah karena pilpres 2014 dan 2019 yang hanya menyediakan dua pasangan calon saja. Bahkan, polarisasi itu masih terasa hingga saat ini. Biaya menyembuhkan masyarakat dari pembelahan akibat polarisasi itu dirasakan lebih mahal dibanding biaya pilpres hingga putaran kedua sebagaimana terjadi pada Pilpres 2004,” tukasnya.

HNW menjelaskan peta perkoalisian partai-partai politik saat ini sebenarnya juga sudah mengarah kepada bisa hadirnya tiga pasangan calon, yakni Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Prabowo Subianto yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN)serta PD, juga Ganjar Pranowo yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).   

“Arah koalisi Partai - Partai yang berhak menyalonkan Presiden sebenarnya sudah mengarah kepada bukan hanya dua pasangan calon presiden, tetapi memungkinakan adanya tiga pasangan calon, sehingga harapan Rakyat bisa diwujudkan, dan potensi pengulangan polarisasi di tengah masyarakat menjadi semakin

mengecil. Tinggal menunggu keberanian dari dua bacapres Ganjar dan Prabowo untuk segera mendeklarasikan pasangan cawapresnya,” ujarnya.

Namun, sayangnya, di tengah harapan positif itu, malah muncul lagi pihak yang seakan ingin memaksakan pllpres 2024 ini cukup diikuti dua pasangan calon sebagaimana dua kali pilpres sebelumnya, sekalipun HNW dan PKS paham betul bahwa bila hanya dua calon itu juga tidak bertentangan dengan Konstitusi (pasal 6A ayat 3), tetapi hal itu tidak sesuai dengan realita politik yang sekarang memungkinkan tampilnya tiga pasangan calon, apalagi adanya harapan dari mayoritas Rakyat Indonesia pemilik kedaulatan untuk memilih, yang menghendaki alternatif bacapres yang akan mereka pilih tidak hanya dua, agar bisa mendapatkan Presiden yang benar-benar berkualitas sesuai preferensi mayoritas Rakyat, agar Rakyat tidak makin terbelah akibat dipaksakannya kehendak sebagian pihak, pilpres hanya diikuti oleh dua kandidat saja.

Meski HNW juga memahami bahwa pencalonan capres dan cawapres merupakan kewenangan konstitusional partai politik yang memenuhi syarat yang ditentukan Konstitusi, tetapi HNW juga mengingatkan bahwa setiap partai politik perlu memikirkan dampak negatif yang akan terjadi di tengah Rakyat bila dipaksakan kembali diberlakukannya hanya dua pasangan calon Presiden untuk Pilpres 2024, dan bagaimana harusnya Partai - Partai itu ikut merawat konstitusionalisasi demokrasi yang sudah diperjuangkan dan dipraktikkan di Indonesia sebagaimana terjadi pada pilpres tahun 2004 dan 2009.

“Ini harus jadi catatan bersama bagi kita. Karena Pilpres itu bukan sekadar untuk berkuasa, tetapi bagaimana kita bisa mengkoreksi dampak negatif dari pilpres sebelumnya, dan bagaimana dengan pilpres menghadirkan opsi lebih banyak bagi putra-putri Indonesia yang terbaik untuk dipilih sebagai pemimpin bangsa Indonesia yang besar ini,” pungkasnya.