Erdogan Desak Israel Setop Serangan di Gaza: Pengeboman Menyasar Warga Sipil Tak Berdosa
ERA.id - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Sabtu mendesak Israel untuk menghentikan serangannya di Gaza dan mengakhiri "kegilaannya", seiring dengan meningkatnya operasi serangan Israel semalam.
"Pengeboman Israel yang terus meningkat dan intensif ke Gaza sekali lagi menyasar perempuan, anak-anak, dan warga sipil yang tak berdosa, memperdalam krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung," kata Erdogan melalui akun media sosial X.
Sang presiden meminta rakyat Turki untuk bergabung dalam "Pertemuan Akbar Palestina," sebuah aksi unjuk rasa di Bandara Ataturk di Istanbul yang digelar Sabtu sore guna menunjukkan dukungan bagi rakyat Palestina. Erdogan diperkirakan akan berpidato dalam pertemuan tersebut.
Konflik yang sedang berlangsung dimulai pada 7 Oktober ketika kelompok Hamas Palestina memulai Operasi Badai Al-Aqsa, yakni sebuah serangan mengejutkan dari banyak sisi dan penyusupan ke Israel melalui jalur darat, laut, dan udara.
Hamas mengatakan serangan itu merupakan balasan atas penyerbuan Masjid Al-Aqsa dan semakin meningkatnya aksi kekerasan yang dilakukan para pemukim Israel terhadap warga Palestina.
Setelah itu, militer Israel meluncurkan serangan bom tanpa henti terhadap sasaran Hamas di Jalur Gaza. Serangan tersebut semakin intensif pada Jumat malam setelah militernya mengatakan mereka memperluas operasi udara dan darat ke wilayah tersebut.
Mereka juga memutus akses internet dan komunikasi di daerah kantong yang terkepung itu.
Sedikitnya 7.326 warga Palestina tewas dalam serangan Israel. Sekitar 70 persen korban jiwa di Palestina adalah perempuan dan anak-anak, menurut angka resmi.
Sementara korban tewas di Israel mencapai lebih dari 1.400 orang.
Sebanyak 2,3 juta warga di Gaza bergulat dengan kelangkaan makanan, air dan obat-obatan akibat serangan bom masif dan blokade total daerah tersebut oleh Israel.
Majelis Umum PBB pada Jumat malam menyetujui resolusi yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan, tetapi Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen menyebutnya "tercela" dan menolaknya.