Panduan Memilih Wakil Rakyat Modal Kuota Internet
Setiap lima tahun, saya merasa kota yang saya tinggali berubah jadi kampung wisata. Jalan-jalan dipenuhi bendera warna-warni yang berkibar ditiup angin.
ERA.id - Soe Hok Gie pernah menulis, “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”
Saya kira ia tak pernah membayangkan Orde Baru runtuh, partai politik membeludak, dan ribuan orang terjun jadi caleg tiap lima tahun sekali. Hari ini, bagi generasi muda, politik bukan lagi barang kotor, tapi seksi.
Dalam negara demokrasi, tak ada yang menghalangi siapa pun untuk berpolitik praktis. Tanpa perlu pendidikan tinggi, asal lulus SMA, kita bebas mendaftar jadi caleg. Sayangnya, yang selalu kita ingat tiap momen coblosan lima tahunan hanya baliho-baliho dan atribut kampanye lain yang berserak memperkeruh pemandangan.
Presiden datang dan pergi, kekuasaan berganti, tapi permainan politik kita masih begini-begini saja: Sibuk jualan poster dan jargon alih-alih ide dan gagasan. Apa kita tidak jenuh dan muak hanya melihat caleg-caleg tersenyum di jalan raya sambil menyuruh kita memilih mereka?
Tahun depan pemilu, parpol-parpol sudah tancap gas berkampanye–meski masa kampanye belum dibuka. Dengan segala perkembangan media, strategi mereka makin kreatif. Partai yang dulu identik dengan partainya Muhammadiyyah ganti persona jadi partainya artis; partai anak muda jadi partai anak bapak; oposisi jadi pendukung; pendukung jadi oposisi.
Dengan segala gemerlap kampanye tadi, kita sebagai pemilih yang waras jangan terjebak dengan wajah yang mereka tampilkan di media, tapi harus fokus dengan isi kepalanya–semoga saja ada. Dan beruntung data-data caleg bisa kita akses lewat laman KPU, meskipun banyak juga yang tak bisa dibuka.
Berikut ini sekilas panduan singkat bagi yang bingung harus menitipkan aspirasi politiknya ke siapa. Berhubung terlalu banyak dapil dan butuh waktu lama untuk mengeceknya satu per satu, saya bakal merangkum gagasan para caleg DPR RI di dapil DKI Jakarta II saja. Pertimbangannya karena dapil itu mencakup konstituen di luar negeri, yang biasanya hanya bisa mengulik informasi caleg dari internet.
Dapil DKI Jakarta II: Bertabur bintang, tapi minim program
Ada 18 parpol yang lolos jadi peserta Pemilu 2024. Kita bisa mengecek daftar caleg mereka lewat laman infopemilu.kpu.go.id. Di sana terlampir data diri dan riwayat hidup para caleg, sebagian juga mencantumkan motivasi dan program unggulan mereka.
Sebelumnya, Kompas sempat menulis laporan bahwa 30 persen caleg DPR menutup riwayat hidupnya, termasuk seluruh caleg dari Partai Golkar dan PSI. Hari ini (8/11/2023) saya mengeceknya lagi dan menemukan sedikit perubahan. Data caleg PSI sudah tersedia, tetapi dari Golkar masih tak bisa diakses. Asumsi saya, kemungkinan ada kesalahan dalam sistem atau datanya memang belum diinput KPU.
Namun, sayangnya, daftar program caleg PSI yang saya telusuri terkesan asal tempel buat syarat administrasi. Setidaknya begitulah kesimpulan saya setelah mengecek data dapil DKI Jakarta II dan membandingkannya dengan beberapa dapil lain. Dan penyakit itu bukan hanya diidap PSI, tapi juga banyak parpol lain.
Dapil DKI Jakarta II–yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri–sebetulnya bertabur banyak bintang. Ada menteri ketenagakerjaan, istri konglomerat media sekaligus ketua umum parpol, dan beberapa artis mulai dari eks vokalis Dewa 19 hingga tukang hipnotis. Meski begitu, program yang mereka tawarkan tampak seadanya.
Secara umum, para caleg Dapil DKI Jakarta II terbagi ke empat cluster berdasarkan program unggulan mereka di data riwayat hidup. Pertama, mereka yang tak menawarkan program. Kedua, mereka yang tidak paham program. Ketiga, mereka yang menawarkan program copypaste. Dan keempat, mereka yang menawarkan program sesuai kebutuhan dapil dan latar belakang mereka.
Ringkasan program caleg DPR dapil DKI Jakarta II
Golongan pertama bisa kita lihat di Partai Golkar, Gelora, dan PAN yang datanya kosong, atau PDIP, PBB, dan Demokrat yang hanya menampilkan data umum caleg saja tanpa kolom program. Setidaknya begitu yang saya cek per hari ini, Rabu (8/11/2023).
Kedua, banyak sekali caleg yang tampak tidak bisa membedakan antara program dan visi misi. Ini rata di semua parpol. Seringkali saya menemukan kalimat seperti memberantas korupsi; membuka lapangan kerja lebih luas; menyediakan akses pendidikan yang adil; atau mewujudkan masyarakat yang demokratis.
Contoh-contoh tadi lebih cenderung ke tujuan daripada program. Harusnya, para caleg itu menulis apa yang akan mereka lakukan untuk memberantas korupsi; bagaimana cara mereka mengurangi pengangguran; atau langkah apa yang bakal dilakukan agar pendidikan terjangkau dan membangun iklim demokratis.
Adalagi beberapa caleg yang programnya ajaib. Misalnya caleg-caleg dari partai besutan Wiranto. Kalau kita cek program unggulan caleg nomor urut 3, isinya: Terpilih menjadi anggota DPR RI. Sementara caleg nomor urut 7, isinya hanya “kaum perempuan” tanpa keterangan lebih lanjut.
Ketiga, golongan yang punya program unggulan, tapi copypaste. Contohnya PSI, siapa pun calegnya, programnya sama: Indonesia yang setara dan toleran, Indonesia yang bersih dan bebas korupsi; dan Indonesia yang adil. Sudahlah copypaste, isinya juga bukan program. Parahnya lagi, ini juga terdapat di dapil-dapil lain.
Selain PSI, Partai Garuda dan Partai Ummat juga punya template program yang sama untuk seluruh calegnya. Beberapa parpol lain juga punya template program (misalnya Partai Hanura dan Partai Buruh), bedanya, punya mereka lebih beragam. Selengkapnya bisa dicek sendiri di laman KPU.
Bagi saya, ketiga golongan tadi agak meragukan untuk dipilih–tanpa melihat faktor-faktor lain seperti aktivitas offline mereka.
Buat teman-teman yang hanya berpatokan dengan data-data online, maka golongan keempat ini patut dipertimbangkan, yaitu mereka yang punya program jelas sesuai kebutuhan dapil atau cocok dengan latar belakang mereka.
Setiap dapil tentu punya karakteristik berbeda, dan perjuangan wakil rakyat ke depannya adalah mewakili kebutuhan-kebutuhan konstituennya. Saat bicara dapil DKI Jakarta II, wajar kalau program yang dicantumkan mencakup kebutuhan WNI di luar negeri.
Ada beberapa caleg yang programnya lebih terarah. Misalnya, caleg dari partai berlogo bulan sabit mengapit padi dan kapas punya program Jakarta Bahagia, yaitu membuka akses masyarakat untuk mendapat layanan kesehatan mental dan advokasi pekerja migran Indonesia. Menariknya, apa yang dicanangkan itu cocok dengan profesinya sebagai psikolog.
Seorang caleg lain dari partai berlogo bola dunia punya sederet program khusus untuk pekerja migran Indonesia, seperti membuka cabang Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di luar negeri, khususnya Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, dan negara-negara yang punya banyak ekspatriat.
Sayangnya, jumlah caleg golongan terakhir tadi justru sangat sedikit ketimbang caleg-caleg yang programnya belum jelas di laman KPU. Akhirulkalam, memilih caleg yang presisi memang seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Saya yakin ada jarum di sana, tapi kita perlu usaha lebih untuk menemukannya.