Kisah Warga Pesisir Utara Jakarta yang Perlahan Tenggelam

ERA.id - Jakarta punya seribu alasan untuk mengusir warganya pergi, tetapi orang-orang selalu punya seribu satu alasan untuk tetap bertahan. Begitulah kesimpulan yang saya peroleh setelah mengunjungi sudut-sudut perkampungan di Jakarta, mulai dari Gang Venus yang gelap hingga pesisir utara Jakarta yang terancam tenggelam oleh laut pasang.

Rabu lalu (8/11/2023), saya pergi ke Muara Baru dari kontrakan saya di Cikarang. Dengan menumpang kereta, saya harus berganti jalur sekali dari Stasiun Kampung Bandan menuju Stasiun Jakarta Kota, lalu memesan ojek yang mengantar saya ke Masjid Waladuna. Di Google Maps, namanya sudah berganti menjadi Masjid Tenggelam Muara Baru.

Tembok bendungan di Muara Baru, Jakarta Utara. (ERA/Agus Ghulam)

Sesampainya di titik tujuan, yang menyorot perhatian kedua mata saya adalah tembok panjang yang berdiri sepanjang pesisir dan menyembunyikan wajah laut di baliknya. Suara ombak ikut terhalangi tembok, digantikan dengan suara kambing mengembek ramai-ramai. Saya mengedarkan pandangan, suasana sekitar tampak seperti setting ladang gersang di film-film koboi lawas.

Di kanan-kiri banyak puing-puing batu berserakan. Belakangan saya dengar kabar dari ibu-ibu penjaga warung kalau semua itu bekas bangunan yang rencananya dijadikan pabrik. Sementara tembok yang berdiri teguh dihiasi grafiti tak lain adalah bendungan yang mencegah warga kampung Muara Baru kebanjiran.

Kalau di belahan dunia lain sering terdengar ungkapan build bridges, not walls ‘bangun jembatan, bukan tembok’, lain halnya di Muara Baru. Tanpa tembok itu, ribuan warga pesisir terancam tenggelam tiap tahun. 

Tampak suasana pesisir Muara Baru. (ERA/Agus Ghulam)

Perkiraan kasar saya, tembok beton itu kira-kira menjulang setinggi 5-6 meter. Dan Masjid Waladuna berdiri tepat di baliknya. Waladuna dalam bahasa Arab berarti ‘anak kami’. Anak yang dulu dibesarkan warga kampung Muara Baru itu kini telah meregang nyawa. Saya harus memanjat tembok menggunakan tali seadanya untuk menyaksikan nasib masjid itu setelah belasan tahun ditinggalkan.

Saya tidak memanjat tembok sendirian hari itu, tetapi ditemani dua bocah Muara Baru bernama Rijal dan Rahmat. Mereka berdua ingin berenang di laut dan memanjat lebih cekatan dari saya. Dalam hitungan detik, keduanya sudah berdiri di atas tembok dengan berani. Saya segera menyusul.

Di atas sana saya baru bisa mendengar suara ombak. Belasan kapal tongkang dari kejauhan terlihat seperti mainan kapal otok-otok zaman dulu. Dua mercusuar berwarna merah dan biru tampak sekecil menara lego keponakan saya. Dan Masjid Waladuna yang saya cari-cari masih berdiri sambil berendam air asin, tetapi atapnya telah tiada. Kata warga setempat, sudah dipreteli dan dijual. 

Masjid Waladuna yang sudah ditinggalkan karena tenggelam air laut. (ERA/Agus Ghulam)

Tembok yang saya naiki dibangun waktu zaman Ahok. Sementara masjid bercat hijau yang sudah tenggelam hampir setengahnya itu sudah berkali-kali terendam air laut sejak tahun 2000. Dahulu, perkampungan warga masih berdiri di sekitar masjid. Mereka baru mengungsi kisaran tahun 2009, setelah permukaan laut makin tinggi dan tanah pesisir makin amblas. 

Cat hijau masjid sudah luntur dan menyisakan bekas pucat. Setengah tembok masjid tampak berlumut. Entah mengapa bangunan itu tak dirobohkan dan dibiarkan saja terkikis perlahan. Mungkin sebagai nostalgia pernah ada kehidupan di sana; mungkin juga sebagai pengingat akan kuasa Tuhan. 

Saya menikmati pemandangan yang mempertemukan masa lalu dan masa depan itu sambil menyaksikan Rijal dan Rahmat asik berenang. Selang beberapa menit, saya pamit ke mereka untuk menemui orang-orang yang pernah beribadah di masjid itu.

Bu Dewi yang sudah berdamai dengan banjir

“Dari kecil saya di sini, udah sering banjir… jadi ya semenjak permukaan laut makin naik, digusur,” ucap Bu Dewi.

Saya bertemu dengannya setelah bertanya-tanya ke warga sekitar di mana letak rumah Ketua RT. Semua menunjuk ke arah lorong di pojokan. “Lurus saja, nanti ada tanda namanya.”

Berbeda dengan tampak depan Muara Baru yang gersang, setelah melewati lorong yang ditunjuk warga, tampak belakang kampung pesisir itu tak jauh berbeda dengan gang-gang kampung lain di Jakarta. Meski cuaca masih terasa agak panas, setidaknya terik matahari terhalang-halangi rumah warga yang berdempetan.

Setelah berjalan beberapa meter, tepat di pojok gang saya melihat papan kecil bertuliskan:

KETUA RT 015/17 

KELURAHAN PENJARINGAN

KECAMATAN PENJARINGAN

JAKARTA UTARA 14440

Seperti Masjid Waladuna, rumah itu juga berwarna hijau dengan cat yang sudah keropos sana-sini. Di sanalah Bu Dewi tinggal. Saya diambilkan kursi plastik dan kami duduk berhadap-hadapan di belakang rumahnya. 

Rambut Bu Dewi diikat ke belakang. Ia mengenakan celana jeans digandengkan dengan kaos merah muda kebesaran bertuliskan “PARIS”. 

Bu Dewi di depan rumahnya. (ERA/Agus Ghulam)

“Saya dari 1985 lahir di sini. Jauh sebelum ada tanggul itu.Tanggul itu jamannya Ahok. Makanya alhamdulillah sekarang gak sering banjir. Walaupun lagi pasang, gak ke warga, cuman di jalanan doang,” cerita Bu Dewi.

Kedua orang tuanya asli Jawa. Ibunya dari Cirebon, sedangkan bapaknya perantau dari Semarang. Namun, bagi Bu Dewi, tempat yang bisa ia sebut rumah hanya Muara Baru, di mana ia dilahirkan, sekolah, menikah, hingga beranak-pinak.

Tahun 2000-an, ia sekeluarga masih menggunakan Masjid Waladuna untuk beribadah dan perayaan keagamaan. Karena di RT 15, hanya itulah masjid satu-satunya yang berdiri. Dan sejak dulu, seingat Bu Dewi, masjid itu memang selalu terendam air setiap laut pasang.

“Lalau pasang itu gak dipakai, tapi kalau lagi gak pasang kita masih pakai. Itu 2005 udah kena banjir, tapi masih bisa dipakai. Ke sini-sini udah gak bisa. 2006 ke sini udah gak bisa,” kenang Bu Dewi.

Akhirnya, rumah-rumah yang ada di pinggir laut terpaksa digusur. Beruntung rumah Bu Dewi letaknya masih agak ke belakang dan tak perlu pindah. Meskipun ia dan tetangga-tetangganya harus berdamai dengan banjir yang selalu mampir hampir tiap tahun.

Tampak depan rumah Bu Dewi yang sudah diuruk berkali-kali. (ERA/Agus Ghulam)

Ia mengajak saya ke bagian depan rumahnya dan menunjukkan letak jendela yang sudah rata dengan lantai. Akibat tanah yang ditinggalinya perlahan amblas tiap hari, warga kampung Muara Baru harus sering menguruk rumahnya lebih tinggi. Bu Dewi sendiri sudah menguruk rumahnya empat kali. Dan kini atapnya sudah nyaris menyentuh kepala.

Terakhir ia menguruk rumahnya tiga tahun lalu. Sebetulnya ia mau meninggikan lagi rumahnya, tetapi kepentok di biaya yang mahal. Sekali menguruk, ia bisa merogoh kocek kurang lebih Rp20 juta. 

“Kalau masalah nguruk itu pasti habis banyak. Kita belum beli urukannya, semen, pasir, keramik, nyewa tukangnya, kan gitu,” ungkap Bu Dewi. “Kalau gak nguruk, kita ya banjir.”

Dibayang-bayangi kemungkinan tenggelam setiap saat, Bu Dewi memilih tetap bertahan dan membesarkan anak-anaknya di Muara Baru. 

“Namanya ya dari kecil udah tiap hari kena air, udah biasa. Cuman ya was-was mah ada Takut itu tanggul jebol.Cuma ya mau gimana lagi. Kita udah enak di sini.”

Bu Soni, 45 tahun tinggal di Muara Baru

Sudah lewat 45 tahun sejak Bu Soni merantau dari kampungnya di Serang, Banten ke Muara Baru. Waktu itu Pak Harto masih berkuasa, Muara Baru masih banyak empang, dan warga tinggal di rumah-rumah panggung.

“Ibu punya anak tiga itu udah mulai ramai di sini,” cerita Bu Soni di teras kecil rumahnya yang berseberangan dengan Bu Dewi. Kata Bu Soni, mereka berdua masih ada hubungan kekerabatan.

Bu Soni sedang mengangkat jemuran di depan rumahnya. (ERA/Muslikhul Afif)

Semakin padat penduduk, semakin amblas tanah, semakin rawan pula tempat itu akan banjir. Pemerintah setempat menguruk jalan-jalan agar air tak menggenang pada musim penghujan, tetapi imbasnya rumah-rumah warga yang belum diuruk harus menampung kelebihan air–termasuk rumah Bu Soni.

“Kadang ibu tanggul-tanggul pakai kain, ini udah capek sendiri kalau hujan. Diuruk-uruk jalannya, ibunya rendah rumahnya,” cerita Bu Soni. “Hujan-hujan sedikit aja udah naik, rembes. Jalannya udah penuh, airnya udah naik.”

Padahal, rumah yang ia tempati itu sudah diuruk sampai tujuh kali. Namun, itu juga belum cukup untuk menahan banjir. Saya diajak memasuki rumahnya yang sudah dibangun dua lantai. Saking seringnya diuruk, langit-langit di lantai dasar terasa sangat rendah, dan tiap masuk kamar saya harus menunduk agar kepala tidak terantuk kosen pintu.

“Udah lama sih ini nguruk, ya udah ada empat tahun kali. Mudah-mudahan bisa enak-enak tidur dikit,” ujar Bu Soni.

Bu Soni mengajak berkeliling rumahnya. (ERA/Muslikhul Afif)

Bu Soni sebetulnya juga masih ingin menguruk rumahnya lagi, tetapi sama dengan Bu Dewi, uangnya belum kekumpul. Sementara suaminya sendiri sudah tak bisa bekerja. 

“Dulu masih sehat Bapak, sekarang Bapak udah tua udah gak bisa nyari lagi. Kalau mau pindah sih gak tahu, soalnya ibu kan udah tua, bapak udah tua. Jadi gimana nanti.”

Karena Bu Soni sedang tak enak badan, saya tak berlama-lama bertamu ke rumahnya. Sekitar seperempat jam di sana saya kemudian pamit. Bu Soni masih duduk di teras rumahnya menunggu sang cucu pulang sekolah. Sepanjang lorong itu, bukan hanya rumah Bu Soni dan Bu Dewi yang tampak pendek, tapi seluruhnya. Saya hanya bisa berdoa semoga nasib mereka lebih panjang dan bahagia dari Masjid Waladuna.