ERA.id - Ada yang bilang kalau mau menilik segala rupa nasib warga Jakarta, di mana kemakmuran dan kemiskinan saling bertubrukan, intiplah dari jendela gerbong kereta api. Jalur Manggarai-Kampung Bandan–yang melewati Kelurahan Jembatan Besi di Tambora–juga menawarkan pengalaman itu. Akhir Oktober lalu, saya turun dari kereta di Stasiun Duri untuk merasakannya lebih dekat.
Bu Tuti, istri pak RT 001 Jembatan Besi menemui saya langsung di rumahnya yang bercat kuning. Jalan menuju rumahnya lebih terkenal dengan nama Gang Venus ketimbang Jl. Jembatan Besi. Dan Gang Venus sejak lama terkenal sebagai gang tanpa cahaya matahari.
“Dulu di depan ada toko fotocopy-an besar, namanya Venus,” cerita Bu Tuti mengisahkan asal-usul sebutan Gang Venus. Namun, toko itu kini tutup dan hanya meninggalkan nama.
Gang Venus bisa ditempuh berjalan kaki dari Stasiun Duri, kurang lebih lima menit. Saya memasuki gang legendaris itu dari samping Masjid Jami Al-Jahiriyyah. Dan awalnya saya tak merasa ada yang berbeda dengan gang-gang lain di Jakarta–ramai, sesak, dan sempit. Semua baru terasa berubah ketika belok kanan ke gang RT 001 menuju rumah Bu Tuti.
Pertama-tama, lebih banyak air menetesi kepala saya. Saya mendongak, menatap langit, dan menyadari itu bukan berasal dari hujan, melainkan jemuran basah yang digantung di atap-atap dan tali-temali yang saling bersilang antar bangunan. Pun begitu, jalan masih diterangi cahaya matahari.
Suasana berubah drastis ketika saya berbelok ke kiri tepat di sebelah tempat konfeksi–gang di mana rumah Bu Tuti berada. Hari seperti berganti malam dengan semburat cahaya bulan samar-samar. Jarak antara dua bangunan sepanjang gang gelap itu mungkin hanya semeter lebih sedikit. Air masih menetes dari jemuran di langit-langit. Tak ada angin berembus.
“Saya dari lahir di sini, besar di sini, jadi sudah biasa,” cerita Bu Tuti sambil sesekali bercanda dengan anak bungsunya. “Kalau saya pendatang, ngontrak di sini, mungkin enggak betah juga.”
Saat memasuki Gang Venus, saya melihat banyak pengumuman rumah dan kamar dikontrakkan. Bu Tuti bilang memang lebih banyak pengontrak ketimbang penghuni tetap di sana. Tak heran rumah-rumah semi permanen dibangun bertingkat-tingkat seperti apartemen, dengan tangga kayu curam khas gang-gang kecil Jakarta.
Kami mengobrol di ruang tamu ditemani kipas yang bergoyang kanan-kiri. Pintu depan terbuka dan di siang hari bolong begini lampu dalam rumah tetap mesti menyala. Beberapa tetangga yang lalu-lalang di depan menyapa Bu Tuti dengan sapaan “Neng”. Saya baru tahu kalau warga Gang Venus rata-rata adalah orang Sunda.
“Ibu saya asli Pandeglang, rata-rata warga sini emang orang Sunda semua,” ungkap Bu Tuti.
Berjam-jam selanjutnya saya berkeliling Gang Venus, yang saya temui selalu orang Sunda–baik penghuni tetap maupun pengontrak. Saya bertemu dengan Bu Martiah, salah satu warga tertua dan terlama yang tinggal di sana. Saya juga bertemu dengan Sarah, perempuan asli Lebak yang sudah belasan tahun mengontrak di Gang Venus bersama keluarganya. Begini kisahnya.
Kebakaran yang mengubah wajah Gang Venus
WASPADA KEBAKARAN GAS DAN LISTRIK. Begitu bunyi selembaran dari Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan yang marak terpampang di tembok-tembok Gang Venus RT 14.
Bu Tuti bilang ke saya kalau Gang Venus, walau terkesan kumuh dan becek, relatif aman dari banjir. Namun, rumah-rumah yang berdempetan tanpa celah mengundang bencana lain datang, yaitu kebakaran. Dan bekas bencana itu bisa kita saksikan di RT 14.
Lain dengan RT 001 yang sebagian sisinya masih terasa remang-remang, RT 14 bukan hanya lebih lega, tapi terlihat terang seluruhnya disiram cahaya matahari. Padahal, menurut cerita warga setempat, RT 14 dahulu merupakan salah satu kawasan tersuram sepanjang Gang Venus.
Selasa lalu (31/10/2023), saya bertemu dengan Sarah yang mengontrak di RT 14 sejak belasan tahun lalu. Harga kontrakan di Gang Venus relatif sama, per tahun kisaran Rp7 juta. Sarah tinggal di sana bersama orang tua dan anak-anaknya yang masih balita.
Empat tahun lalu, tepat di bulan puasa, api menyala di RT 14 dan menghanguskan lebih dari 100 rumah warga–termasuk kontrakan yang ditempati Sarah. Waktu itu, ia sedang pulang kampung ke Lebak bersama ibunya. Pagi-pagi ia dihubungi ayahnya dari Jakarta, mengabari kalau kontrakan mereka tinggal puing dan uang simpanan mereka jadi abu.
“Kebakarannya habis sahur, orang-orang pada ngungsi ke balai, untung enggak ada korban jiwa,” kenang Sarah. Sebagian warga yang rumahnya hancur ada juga yang menginap di masjid dan musala berbulan-bulan.
RT 14 dibangun ulang dan bangkit dari kegelapan. Rumah-rumah kayu diganti permanen dengan tembok dari batu. Pihak kelurahan juga melarang rumah-rumah berhadapan terlalu rapat. Kini, setelah kebakaran besar tahun 2019, warga RT 14 jadi penghuni Gang Venus yang paling bisa bernapas lega dan jemurannya lebih cepat kering.
Kisah satu rumah dan belasan penghuni
Bu Martiah tinggal di Gang Venus sejak tahun 1970-an. Ia awalnya mengontrak bersama sang suami, Pak Jaya sekitar 15 tahun, sebelum akhirnya mampu membeli rumah sendiri seharga Rp4 juta. Waktu itu, kata Bu Martiah, harga emas segramnya masih Rp20 ribu.
“Dulu masih banyak sawah, rawa-rawa, enggak ada lampu,” ia berkisah di depan toko jajanan anak-anak yang ia buka di rumahnya. Cucunya mondar-mandir di sekitar kami, sepertinya ingin ikut nimbrung dengan obrolan orang-orang tua.
Bu Martiah sudah punya enam cucu dari delapan anak-anaknya yang sudah menikah. Dua anaknya yang lain masih bujang dan perawan. Kini ia tinggal beramai-ramai di rumahnya beserta suami, anak, mantu, dan cucunya.
“Yang di kampung ada satu, ngikutin istrinya, usahanya di kampung,” ujar Bu Martiah.
Sementara ia sendiri sempat buka usaha konfeksi di lantai dua rumahnya. Dari hasil menjahit tadi, ditambah penghasilan suaminya yang bekerja sebagai security di Dinas Kesehatan Tanah Abang, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SMA.
Beberapa tahun lalu, sebagian mesin jahitnya dijual untuk membiayai renovasi rumah agar muat menampung para menantu dan cucu-cucunya. Karena suaminya dirumahkan sejak 2016 setelah kondisi kesehatan kakinya memburuk, Bu Martiah akhirnya mengambil pinjaman ke bank untuk menutupi kekurangan biaya.
“Saya pinjam Rp30 juta, dari bank nawarin Rp100 juta juga dikasih. Saya enggak pernah telat bayar soalnya,” ucapnya. “Tapi ya, Rp30 juta saja cukup.”
Di usianya yang sudah lebih 60 tahun, Bu Martiah tak punya keinginan pindah dari Gang Venus. Ia memang menyiapkan tabungan untuk membeli tanah di kampung halamannya, Pandeglang. Bukan untuk membangun rumah, tetapi menyiapkan kuburannya kelak bersama sang suami.
“Udah nyaman di sini, udah kayak asli sini. Mau ke mana lagi? Saudara deket, tetangga pada deket, pada baik-baik sama kita orang. Ya udah,” ucapnya.