Liburan di Musim Padat, Lepas Penat atau Malah Sengsara?

ERA.id - Pada musim libur akhir tahun kali ini, potensi pergerakan masyarakat diprediksi mencapai lebih dari 107 juta orang. Liburan ke tempat wisata menjadi alasan terbanyak orang bepergian, selain pulang kampung atau liburan ke kampung halaman.

Tujuan tamasya tentu untuk melepas penat, namun bagaimana cara menikmati wisata di musim padat, jika harus berjibaku menaklukkan kemacetan lalu-lintas di mana-mana, biaya transportasi dan fasilitas rekreasi membumbung tinggi, itupun masih harus mengantre dan berebutan. Dengan sedikit siasat, drama dan kesengsaraan dalam kegiatan liburan barangkali bisa dihindari.  

Kementerian Perhubungan telah merilis hasil survei daring pergerakan masyarakat pada libur Natal 2023 dan Tahun Baru 2024, yang diperkirakan 107,63 juta orang atau 39,83 persen dari total penduduk Indonesia akan melakukan perjalanan pada liburan akhir tahun.

Masih berdasarkan survei itu, sebanyak 45,29 persen pemudik menuju objek wisata, 30,15 persen berkunjung ke kampung halaman, dan 18,98 persen merayakan Natal dan Tahun Baru di kampung halaman.

Seluruh jenis moda transportasi dimanfaatkan pemudik yang tahun ini jumlahnya meningkat 143,65 persen dibanding tahun lalu, mulai dari kendaraan pribadi, kereta api, pesawat terbang, armada bus, kapal penyeberangan, dan kapal laut.

Selain perayaan Idul Fitri, musim libur akhir tahun juga menjadi hajatan akbar penyelenggaraan perjalanan massal bagi masyarakat Indonesia. Meski merupakan momen rutin tahunan dan pemerintah telah mempersiapkan sarana prasarana serta mengantisipasi segala kendala, namun karena jutaan orang bergerak dalam waktu bersamaan, menyebabkan berbagai kekacauan tak dapat dihindari.

Di berbagai wilayah, kemacetan berlangsung berjam-jam, mengular berkilo-kilometer di sejumlah ruas jalan raya dan juga jalan tol yang seharusnya bebas hambatan. Lautan manusia memadati objek wisata favorit, seperti taman hiburan, kebun binatang, hingga pantai, pegunungan, serta lainnya.

Kesengsaraan yang kerap menimpa warga saat liburan akhir tahun akibat keserentakan dalam memenuhi keinginan untuk melakukan perjalanan dan berwisata serta rasa tidak ingin ketinggalan tren. Kalau saja mereka mengambil sikap menunggu dan melihat situasi kondisi, seperti menahan diri tidak turut bepergian jauh saat jalanan sangat padat, mungkin dapat memberi andil dalam mengurangi keruwetan di jalan raya.

Atau memprioritaskan kalangan berkepentingan untuk mengambil kesempatan melakukan pergerakan di luaran, semisal saat libur Natal, maka umat Kristianilah yang paling berkepentingan menggelar perayaan, sehingga kita beri kesempatan mereka secara leluasa bepergian ke tempat ibadah atau berlalu-lintas mengunjungi sanak kerabat untuk menikmati kemeriahan Natal. Ini sebentuk toleransi dalam wajah lain yang lebih luas.

Sementara warga lain yang tidak memiliki urgensi untuk pergi, lebih baik tidak ikut menambah beban jalanan, dengan memaksakan diri beramai-ramai turut larut dalam euforia. Adakalanya orang-orang pergi jalan-jalan hanya untuk memuaskan hasrat iseng daripada berdiam di rumah. Baik iseng maupun yang memaksakan diri, sama-sama menyumbang andil menambah keruwetan di jalan-jalan raya, apalagi saat puncak musim liburan.

Sikap tidak ingin ketinggalan dan harus menjadi bagian dari tren, membuat masyarakat memaksakan diri berwisata di saat bersamaan dengan pilihan tujuan yang sama pula karena mengacu pada rekomendasi objek favorit atau yang tengah viral.

Walhasil, objek-objek wisata tertentu menjadi lautan manusia. Kondisi itu membuat segala fasilitas hiburan yang tersedia tak lagi nyaman untuk dinikmati karena harus mengantre panjang dan berebutan. Belum lagi harga-harga (tiket, makanan, penginapan) yang mendadak naik berkali lipat, dipicu animo pengunjung yang terlampau tinggi.

Sementara pada bagian lain, banyak pula objek wisata yang tak kalah menarik masih sepi pengunjung karena belum populer dan keengganan masyarakat untuk riset atau mencari tahu tujuan wisata alternatif.

Melawan kebiasaan

Penuh sesaknya jalan raya yang menaikkan tingkat stres para pengguna dan membeludaknya manusia di tempat-tempat wisata, itu akibat sebagian besar orang cenderung mengikuti tren arus utama. Kalau saja mereka mau memikirkan ide yang berbeda, tentu akan lebih nyaman menikmati liburan.

Berikut contoh cara melawan kebiasaan dengan mengambil jalan berbeda dari arus utama.

- Memilih libur lain waktu. Bila anda tergolong orang yang bisa leluasa mengatur jadwal libur dan tidak harus patuh dengan kalender tanggal merah, maka tak perlu ikut-ikutan bepergian jauh dan berwisata saat puncak musim liburan hanya demi menikmati seru-seruan.

Jika dalam perjalanan saja sudah membutuhkan perjuangan berat untuk sampai ke tempat tujuan, sudah barang tentu bukan keseruan yang anda dapatkan, melainkan stres dan kepenatan baru. Padahal tujuan berlibur untuk melepas kepenatan.

- Memilih tempat wisata yang tak biasa. Jika anda hanya memiliki waktu libur tertentu, seperti tanggal merah dan yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama, artinya harus berbarengan dengan jutaan orang lain, maka pilihlah tujuan wisata yang berbeda dari orang-orang pada umumnya.

Untuk menemukan tempat wisata menarik yang belum banyak diketahui orang, sehingga akan bebas dari kepadatan, lakukanlah riset kecil-kecilan. Bisa juga dengan meminta rekomendasi dari teman-teman yang tinggal di daerah tujuan, mereka pasti lebih banyak tahu objek wisata yang bagus di daerahnya.

Saat ini tengah berkembang desa-desa wisata yang dikelola oleh aparat bersama karang taruna dan warga desa. Sebagian besar berkonsep wisata alam, dengan memanfaatkan keelokan lanskap perdesaan, lengkap dengan persawahan, sungai, dan perbukitan. Kadang juga diramaikan dengan penjaja suvenir hasil kerajinan warga setempat.

Dengan mengunjungi tempat wisata rintisan yang dibangun dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat, kita telah turut membantu menghidupkan usaha wisata kelas menengah. Mungkin akan menjadi pilihan berlibur yang lebih bermakna daripada menghambur-hamburkan banyak uang untuk objek wisata populer milik pengusaha besar yang sudah kaya raya.

- Memilih jalan alternatif. Untuk menempuh perjalanan liburan, carilah jalan alternatif. Selain untuk mengurangi beban jalan raya utama, juga agar tidak stres dan buang-buang waktu akibat terhambat kemacetan.

Jalan alternatif biasanya tak selebar dan semulus jalan utama, dengan lebar jalan yang pas-pasan, pengendara harus saling tenggang rasa ketika kendaraan berpapasan dari arah berbeda. Dengan sedikit tantangan dan kesulitan itu membuat kita saling bertegur sapa dengan pengendara lain dan juga penduduk setempat yang tak jarang berinisiatif turut mengatur lalu-lintas di jalan yang melewati rumah-rumah mereka.

Sikap egois yang umumnya tumbuh subur di jalan besar, tidak demikian halnya di jalan-jalan alternatif. Kesemrawutan lalu-lintas di jalan raya kerap ditimbulkan oleh sikap ego para pengendara yang saling mendahului, memotong, dan menyerobot hak jalan kendaraan lain.

Di jalan alternatif, sikap seperti itu tidak berlaku, kondisi jalan yang tak seberapa lebar menumbuhkan sikap saling mengalah dan memberi kesempatan pada pengendara lain.

Pengalaman berharga lain dengan menelusuri rute-rute tak biasa adalah perasaan deg-degan, khawatir nyasar atau menemui jalan buntu, tapi kemudian berbuah kejutan tatkala pada akhirnya bisa tembus jalan tujuan.  

- Minimalkan pergerakan. Rekreasi dan menciptakan keseruan sebetulnya tidak harus pergi jauh meninggalkan rumah. Bila anda memiliki kediaman yang cukup representatif, semisal ada halaman, pekarangan, atau kebun yang agak luas, ada kolam ikan atau taman, bolehlah membuat pesta di rumah saja, hitung-hitung meminimalkan pergerakan untuk membantu mengurangi kepadatan jalan raya. Undang para tetangga, kerabat dekat, dan teman-teman yang kebetulan tidak memiliki agenda bepergian atau liburan di luar.

Dengan begitu anda menciptakan keseruan baru tanpa berjibaku menempuh perjuangan panjang di perjalanan. Pun memberi kegembiraan pada mereka yang tak punya agenda wisata.

Seperti orang-orang

Biang permasalahan dari keramaian tak terkira di jalan-jalan yang menimbulkan arus lalu-lintas mampat parah, lantas di tempat-tempat wisata terjadi "ledakan" pengunjung, hanya karena sebagian besar orang latah mengikuti tren.

Penyakit ingin "agar seperti orang-orang", mendorong mereka harus turut serta mengikuti apa yang umumnya sedang terjadi.

Liburan akhir tahun membuat orang berduyun-duyun keluar ke jalan raya, bepergian menuju tempat-tempat wisata terkenal. Melihat keramaian dan kerumunan besar, orang bukannya menghindari, tetapi malah penasaran dan ikut menyusul ke sana.

Kerumunan manusia yang telah melebihi kapasitas kawasan, menghilangkan kenyamanan liburan. Apa yang bisa dinikmati dari berbagai sarana dan fasilitas wisata bila harus berdesak-desakan, menunggu antrean panjang, dan serba rebutan.

Agar cerita liburan akhir tahun tak selalu begitu, jangan hanya menjadi pengekor tren, sekali-kali punya pendirian, gaya, dan selera wisata sendiri.