Mongolia Dilanda Cuaca Dingin Ekstrem, Dua Juta Hewan Ternak Mati Kelaparan
ERA.id - Pejabat pemerintah Mongolia mencatat lebih dari dua juta hewan mati di Mongolia selama musim dingin tahun ini. Kematian ini disebabkan cuaca dingin dan salju yang ekstrem.
Negara yang terkurung daratan ini tidak asing dengan cuaca buruk dari bulan Desember hingga Maret ketika suhu turun hingga minus 50 derajat Celcius di beberapa daerah. Menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), musim dingin kali ini lebih parah dari biasanya, dengan suhu lebih rendah dari biasanya dan hujan salju yang sangat lebat.
"Hingga Senin, 2,1 juta ekor ternak mati karena kelaparan dan kelelahan," kata Gantulga Batsaikhan dari Kementerian Pertanian negara tersebut, dilansir AFP, Selasa (27/2/2024).
Dalam catatan statistik resmi, Mongolia memiliki 64,7 juta hewan serupa, termasuk domba, kambing, kuda, dan sapi, pada akhir tahun 2023.
Cuaca ekstrem ini dikenal sebagai "dzud" dan biasanya mengakibatkan kematian sejumlah besar ternak. PBB mengatakan perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas dzuds.
Mongolia telah mengalami enam dzud dalam satu dekade terakhir, termasuk musim dingin tahun 2022 hingga 2023 ketika 4,4 juta ekor ternak mati.
Dzud tahun ini diperburuk oleh kekeringan musim panas yang menghalangi hewan untuk menimbun cukup lemak untuk bertahan hidup di musim dingin yang keras.
"70 persen wilayah Mongolia mengalami kondisi dzud atau mendekati dzud”, kata PBB.
Seorang penggembala Tuvshinbayar Byambaa mengatakan musim dingin tahun ini tergolong ekstrem dengan cuaca yang berubah tiba-tiba. Menurutnya, salju yang semula lebat seketika bisa mencair karena peningkatan suhu udara.
“Musim dingin dimulai dengan salju lebat namun tiba-tiba suhu udara naik, dan salju mencair. Kemudian suhu turun lagi, mengubah salju yang mencair menjadi es," ujarnya.
Akibat hal itu, tumpukan es tersebut menyulitkan ternak untuk menerobos ke rumput yang berada di bawahnya. Sehingga para ternak dan hewan terhalang untuk mencari makan.
Di sisi lain, penggembala terpaksa meminjam uang untuk membeli pakan ternak selama musim dingin ekstrem.
“Perubahan cuaca sangat mendadak akhir-akhir ini,” kata Tuvshinbayar.
Dzud paling mematikan yang pernah tercatat terjadi pada musim dingin tahun 2010 hingga 2011, ketika lebih dari 10 juta hewan mati atau hampir seperempat dari total ternak di negara tersebut pada saat itu.
Hujan salju tahun ini, yang terberat sejak tahun 1975 telah menambah kesengsaraan para penggembala, membuat mereka terjebak di daerah yang lebih dingin dan membuat mereka tidak mampu membeli makanan dan jerami untuk hewan mereka dari kota-kota terdekat.
Mongolia adalah salah satu negara dengan populasi paling jarang di dunia dan sekitar sepertiga dari populasinya yang berjumlah 3,3 juta orang adalah orang nomaden.
Pemerintah telah berjanji untuk membantu, dengan meluncurkan kampanye pengiriman pakan ternak jerami kepada para penggembala dalam upaya mencegah hilangnya lebih lanjut komoditas penting seperti daging dan kasmir, salah satu ekspor utama negara tersebut.
Namun untuk saat ini, Tuvshinbayar dan rekan-rekan penggembalanya hanya bisa berdoa agar cuaca lebih hangat.
“Menjadi penggembala menjadi sangat sulit, kami mengalami kekeringan dan banjir di musim panas dan dzud di musim dingin,” katanya.
“Saya akan mulai kehilangan hewan-hewan saya jika salju tidak mencair dalam beberapa bulan mendatang,” tambahnya.
Lebih lanjut, Tuvshinbayar berharap agar cuaca hangat segera tiba sehingga bisa mencairkan es.
“Semua penggembala berdoa agar cuaca lebih hangat agar es ini mencair, sehingga hewan kami dapat mencapai rumput," pungkasnya.