Abu-abu Pilkada Gubernur DKJ, Satu Putaran atau Dua Putaran?

ERA.id - Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta dibahas dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Menariknya, keputusan terkait mekanismenya diketok dua kali.

Sebagai informasi, Rapat Panja RUU DKJ digelar pada Senin (18/3). Sekitar siang hari, pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati gubetnur dan wakil gubernur Jakarta dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada).

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, dalam UU DKI disebutkan bahwa ketentuan pilkada DKI sama seperti pemilihan presiden yaitu 50 persen plus satu, sebagai syarat pemenangan. Namun hal itu dihilangkan dalam RUU DKJ.

Artinya, pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKJ kedepannya mengikuti mekanisme pilkada pada umumnya, yaitu pemenang dengan suara terbanyak dan berlangsung satu putaran.

"Artinya juga ini tentu sudah pertimbangkan menyangkut soal pembelahan, aspek sosiologisnya, pembiayaannya. Karena kalau sampai dua putaran seperti 2017. Nah sekarang konsekuensinya, siapa yang menang langsung selesai," kata Supratman.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro menjelaskan,  nantinya kandidat dengan hasil terbanyak adalah pemenangan dalam Pilkada tersebut.

Dia juga mencontohkan daerah khusus lainnya seperti Aceh dan Papua yang menerapkan syarat tersebut.

"Jadi mengikuti aturan pemilihan kepala daerah selama ini yaitu UU Pilkada, begitu pula dengan daerah-daerah khusus lainnya. Jadi daerah khusus di Provinsi Aceh, daerah khusus di Provinsi Papua sama dengan berlakunya pilkada," kata Suhajar.

"Jadi satu kali pemilihan, pemilik suara terbanyak adalah pemenangnya," imbuhnya.

Mekanisme pilkada gubernur dan wakil gubernur Jakarta dalam satu kali putaran pun saat itu disempati bersama.

Namun, pada malam hari, pemerintah dan Baleg DPR RI mengubah lagi aturan pilkada gubernur dan wakil gubernur tidak lagi berlangsung satu putaran, melainkan bisa dua putaran dengan syarat mengantongi suara 50 plus satu.

"Untuk pemilihan tetap dengan (perolehan suara) 50 (persen) plus satu," kata Supratman.

Meski begitu, keputusan tersebut ditolak oleh dua fraksi yaitu Golkar dan PKB.

Fraksi Golkar berpandangan, gubernur dan wakil gubernur lebih legitimate apabila ditentukan dari suara terbanyak. Karena dipilih mayoritas rakyat.

"Pertanyaan kami ada apa gitu loh, ya legitimasi akan lebih legitimate kalau itu suara terbanyak dipilih rakyat. Karena semua gubernur itu adalah pemimpin rakyat, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Jadi bukan dari orang tertentu untuk orang tertentu," kata

Anggota Baleg Fraksi Golkar Ferdiansyah.

"Jadi kami dari fraksi Golkar masih tetap mempertahankan bahwa suara terbanyak itu yang paling legitimate," sambungnya.

Sementara Anggota Baleg Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah menilai aturan suara kemenangan 50 persen plus satu membuat keruwetan seperti yang terjadi selama ini.

"Oleh karena itu kita lebih simpel fraksi PKB menganggap bahwa suara terbanyak itu lebih pas," katanya.

Menurut Luluk, aturan pilkada ini bukan jadi kekhususan Jakarta. Seharusnya aturan pilkada tersebut jangan ada dibedakan dengan daerah lain yang sudah menganut perolehan suara terbanyak sebagai pemenang.

"Karena rezimnya rezim pilkada, dan jangan ada perbedaan, dan khusus, soal kekhususan kita kan bukan mengatur soal pilkada nya tetapi kekhususannya adalah soal kota global," kata Luluk.

Meskipun aturan itu ditolak dua fraksi, Baleg DPR RI dan pemerintah menyepakati RUU DKJ dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Keputusan itu diambil dalam Rapat Pleno pengambilkan keputusan tingkat I pada Senin (18/3) malam.