Polemik Etika dalam Putusan Sengketa Pilpres 2024, Celah Hukum Jadi Kambing Hitam?
ERA.id - Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akhirnya resmi ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden RI terpilih periode 2024-2029, Rabu (24/4/2024). Prabowo yang sudah dua kali kalah melawan Joko Widodo dalam pemilihan presiden (pilpres), kini berhasil menang melawan dua peserta lain, yaitu Anies Rasyid Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Dua hari sebelum pembacaan penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Prabowo-Gibran diputuskan menang dalam sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Majelis hakim konstitusi memutuskan menolak seluruh gugatan pemohon dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar (AMIN) dan nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Di antara tuntutan pemohon adalah membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu. Prabowo-Gibran tercatat meraih 96.214.691 suara. Sementara itu, Anies-Muhaimin memperoleh 40.971.906 suara, disusul Ganjar-Mahfud dengan 27.040.878 suara.
Mereka juga menuntut agar MK membatalkan pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres); mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran; dan menggelar pemungutan suara ulang (PSU).
“Amar putusan, dalam eksepsi menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk seluruhnya; dalam pokok permohonan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Suhartoyo saat membacakan putusan PHPU Pilpres 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).
Pembacaan putusan MK dimulai sejak pukul 09.00 WIB hingga azan Asar berkumandang. Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sebagai pemohon menontonnya langsung dari awal sampai akhir.
Beberapa kali terlihat Anies dan Ganjar saling melirik dan tersenyum mendengar majelis hakim membacakan putusan bergantian. Momen tersebut kerap terjadi tatkala hakim menyebut tuntutan-tuntutan pemohon “tidak beralasan menurut hukum”.
Berikut ini beberapa poin penting yang kami rangkum dalam pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024 kemarin.
MK menolak hanya menjadi “Mahkamah Kalkulator”
Dalam sidang Senin kemarin, MK bukan hanya menolak gugatan pemohon, tetapi juga eksepsi dari termohon yaitu KPU dan pihak terkait yaitu Prabowo-Gibran. Kedua pihak sebelumnya meminta MK menyatakan permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud cacat formil.
Menurut mereka, MK tidak berwenang memeriksa dan mengadili proses penyelenggaraan pemilu seperti dalil utama gugatan pemohon. Mereka menilai MK hanya berwenang mengadili sengketa hasil perolehan suara secara kuantitatif. Namun, majelis hakim menolaknya.
“Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak hanya sebatas mengadili angka-angka atau hasil rekapitulasi penghitungan suara, tetapi juga dapat menilai hal-hal lain yang terkait dengan tahapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu," ungkap Wakil Ketua MK Saldi Isra.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak Terkait, yang pada intinya menyatakan Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan a quo dikarenakan permohonan Pemohon tidak mendalilkan perselisihan hasil suara pemilu presiden dan wakil presiden berupa penghitungan secara kuantitatif melainkan mendalilkan pelanggaran kualitatif yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif adalah eksepsi yang tidak beralasan menurut hukum,” lanjutnya.
Nepotisme Presiden Jokowi tidak terbukti oleh MK
Seperti diketahui, putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres dalam Pilpres 2024. Pemohon berargumen tindakan presiden yang mendukung putranya maju melanggar Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun, MK menolak dalil pemohon.
MK menilai Presiden Jokowi tidak melakukan nepotisme karena jabatan wakil presiden tidak ditunjuk secara langsung, melainkan melalui proses pemilihan umum.
"Adapun jabatan yang dikategorikan sebagai nepotisme adalah jabatan yang pengisiannya dilakukan dengan cara ditunjuk/diangkat secara langsung. Artinya, jabatan yang diisi melalui pemilihan umum tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk nepotisme," ungkap Hakim Daniel Yusmic.
MK juga mengacu pada Putusan MK Nomor 33/PUU-XII/2015 yang telah menghapus syarat “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam pemilihan kepala daerah”.
Ada celah hukum “kampanye gelap” dalam UU Pemilu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) salah satunya mengatur soal kampanye. Namun, MK menemukan kelemahan dalam peraturan tersebut yang bisa menjadi celah hukum bagi peserta pemilu.
Menurut Ketua MK Suhartoyo, kelemahan itu menciptakan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dalam melakukan penindakan terhadap pelanggaran pemilu.
“Saat ini, terdapat kebuntuan dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu karena UU Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai," ungkap Suhartoyo.
Ia menjelaskan meskipun Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu melarang pejabat negara, pejabat struktural, dan aparatur sipil negara (ASN) untuk mengadakan kegiatan yang menunjukkan keberpihakan terhadap peserta pemilu, tetapi pasal-pasal berikutnya tidak memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan kampanye di luar masa kampanye.
MK pun menyarankan pemerintah dan DPR menyempurnakan UU Pemilu dan peraturan-peraturan terkait untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan pada pemilu selanjutnya.
Presiden Jokowi dukung Gibran terang-terangan, tapi tetap tak melanggar hukum
MK menyebut masih ada celah dalam penyelenggaraan pemilu yang belum diatur hukum, tetapi dapat memengaruhi hasil pemilu. Hal tersebut adalah tindakan Presiden Jokowi memberikan dukungan secara terang-terangan kepada anaknya yang menjadi cawapres.
"Hal yang menjadi celah tersebut adalah tindakan endorsement (pemberian dukungan) terang-terangan Presiden petahana kepada salah satu pasangan calon peserta pemilu in casu anak Presiden petahana," ungkap Hakim Arsul Sani.
Arsul menjelaskan bahwa tindakan presiden tersebut sama seperti juru kampanye yang berusaha melekatkan citra dirinya kepada calon tertentu yang didukungnya agar masyarakat memilih kandidat tersebut.
Ia pun menyampaikan bahwa tak ada kontestasi yang benar-benar seimbang dalam pemilu, apalagi ketika petahana terlibat, baik sebagai kontestan maupun pendukung kontestan lain.
"Bahwa pemilu sebagai sebuah kontestasi demokratis pada dasarnya memang bukan suatu kompetisi yang sepenuhnya seimbang (extremly fair). Kompetisi dalam pemilu bersifat asimetris atau tidak berimbang terutama ketika salah satu kontestan adalah petahana," ujarnya.
Hakim Ridwan Mansyur lalu melanjutkan bahwa dukungan presiden kepada salah satu peserta pemilu tidak melanggar hukum positif, tetapi berpotensi menjadi masalah etika.
"Di mana seharusnya Presiden bersangkutan berpikir, bersikap, dan bertindak netral dalam ajang kontestasi memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan," ujar Ridwan.
Karena itu, MK berpendapat seharusnya presiden menahan diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan masyarakat sebagai salah satu dukungan kepada kandidat tertentu. Dengan begitu, kualitas demokrasi di Indonesia bisa tetap terjaga dan meningkat.
"Namun kerelaan adalah wilayah moralitas, etis, atau pun fatsun, sehingga posisi yang berlawanan dengannya, yaitu ketidaknetralan, tentunya tidak dapat dikenai sanksi hukum kecuali apabila wilayah kerelaan demikian telah terlebih dahulu dikonstruksikan sebagai norma hukum larangan oleh pembentuk undang-undang," jelas Ridwan.
MK tolak dalil politisasi bansos untuk menangkan 02
Salah satu dalil pemohon dalam gugatan sengketa pilpres adalah pengerahan bantuan sosial (bansos) untuk kemenangan Prabowo-Gibran. Namun, MK tidak menemukan bukti adanya politisasi bansos maupun korelasi antara penyaluran bansos dengan peningkatan pemilih.
“Terhadap dalil pemohon yang mengaitkan bansos dengan pilihan pemilih, Mahkamah tidak meyakini adanya hubungan kausalitas atau relevansi antara penyaluran bansos dengan peningkatan perolehan suara salah satu pasangan calon," kata Hakim Arsul Sani.
MK pun meragukan intensi Presiden Jokowi menyalurkan bansos secara langsung demi memenangkan Prabowo-Gibran. Hal tersebut berdasarkan keterangan dari empat menteri yang berwenang mengelola bansos dan dihadirkan dalam sidang lanjutan terakhir, Jumat (5/4/2024) lalu.
"Setidaknya dari keterangan lisan empat menteri dalam persidangan, mahkamah tidak mendapatkan keyakinan akan bukti adanya maksud/intensi dari Presiden terkait dengan penyaluran bansos yang dilakukan oleh Presiden dengan tujuan untuk menguntungkan Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 (Prabowo-Gibran)," ujar Hakim Ridwan Mansyur.
Namun, MK merekomendasikan perbaikan tata kelola penyaluran bansos mendatang, baik dari segi waktu, tempat, maupun pihak-pihak yang terlibat, terutama jika berdekatan dengan proses pemilu.
Tiga hakim ajukan dissenting opinion, pertama dalam sejarah sengketa pilpres
Ada delapan hakim konstitusi yang memutus sengketa Pilpres 2024, mereka adalah Suhartoyo selaku Ketua, Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan enam hakim anggota yaitu Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.
Saat pembacaan putusan MK kemarin, untuk pertama kali dalam sejarah sengketa pilpres, ada hakim yang membacakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Tiga hakim tersebut adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Saldi menyebut pemilu seharusnya melampaui batas keadilan prosedural dan mencapai keadilan substantif. Ia mencontohkan pemilu di masa Orde Baru (Orba) memenuhi standar mekanisme dalam UU Pemilu saat itu, tetapi secara empirik tetap dinilai curang.
"Yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang," ucap Saldi.
Hakim yang juga menyampaikan dissenting opinion dalam Putusan MK Nomor 90 ini menyebut ia berbeda dengan pendapat mayoritas hakim dalam dua hal: Politisasi bansos dan mobilisasi aparat negara. Menurutnya, kedua gugatan tadi beralasan secara hukum.
Ia menjelaskan penyaluran bansos secara masif dan langsung oleh Presiden Jokowi dan sejumlah menteri rawan konflik kepentingan, apalagi menjelang pemilu.
"Sejumlah menteri lainnya aktif membagikan bansos ke masyarakat terutama periode kampanye. Kunjungan ke masyarakat itu kerap menyampaikan pesan ‘bersayap’ yang dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan atau kampanye terselubung bagi pasangan calon tertentu," ucap Saldi.
Ia pun berkeyakinan telah terjadi ketidaknetralan sebagian penjabat (pj) kepala daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung jujur dan adil.
Sementara itu, Enny Nurbaningsih berbeda pendapat dengan mayoritas hakim terkait Dana Operasional Presiden (DOP) yang diduga dipakai untuk kepentingan Pilpres 2024 dan ketidaknetralan penyaluran bansos.
Ia mengutip keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyatakan bantuan kemasyarakatan yang biasa diserahkan Presiden Jokowi bukan merupakan bagian dari anggaran perlindungan sosial (perlinsos), tetapi dari DOP.
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, menurutnya realisasi anggaran DOP tidak pernah mencapai 100 persen dari jumlah yang dialokasikan pada setiap tahunnya. Ia pun menyinggung dugaan DOP digunakan untuk kepentingan Pilpres 2024.
"Meskipun demikian, anggaran untuk DOP terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini yang kemudian memunculkan persepsi yang mengarah pada penggunaan DOP untuk bantuan kemasyarakatan dengan tujuan politik menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024," ucapnya.
Adapun Arief Hidayat keberatan dengan ketidaknetralan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024. Ia menilai apa yang dilakukan Jokowi seolah menyuburkan politik dinasti dan "berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan".
Ia juga menyinggung pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye tidak etis dan tidak dapat diterima nalar sehat. Menurutnya, aturan yang memperbolehkan presiden berkampanye dalam UU Pemilu terbatas apabila ia akan mencalonkan diri kembali dalam pilpres untuk kali kedua.
"Pemerintah telah melakukan pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis," ujarnya.
Ketiga hakim tersebut berpendapat seharusnya dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah daerah yang terdapat masalah netralitas pj kepala daerah. Saldi meminta diadakan PSU di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, Enny meminta diadakan PSU di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Adapun Arief meminta KPU melakukan PSU di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.