KPK Tahan Eks Direktur PTPN XI Terkait Dugaan Korupsi Pengadaan Lahan HGU

ERA.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan tiga tersangka terkait dugaan korupsi pengadaan lahan hak guna usaha (HGU) untuk perkebunan tebu oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI. Salah satunya adalah eks Direktur PTPN XI Mochamad Cholidi.

“KPK tetapkan dan umumkan tiga pihak sebagai tersangka,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (13/5/2024).

Alex mengatakan, dua tersangka lainnya adalah Mochamad Khoiri yang merupakan Kepala Divisi Umum Hukum dan Aset PTPN XI periode 2016, serta Komisaris Utama PT Kejayan Mas Muchsin Karli.

“Tim penyidik menahan para tersangka masing-masing selama 20 hari pertama,” ujar dia.

Ia menyebut, KPK lebih dulu menahan Muchsin Karli sejak 8 Mei lalu. Ketiganya ditahan di Rutan Cabang KPK.

Alex mengungkapkan, dalam kasus ini Cholidi memerintahkan proses pembelian lahan untuk menanam tebu seluas 795.882 meter persegi atau 79,5 hektare yang berada di Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan dengan harga Rp120 ribu/meter persegi. Padahal, belum dilakukan kajian secara meendalam.

“MC langsung memerintahkan MK untuk segera memproses dan menyiapkan pengajuan anggaran senilai Rp150 Miliar,” ungkap Alex.

Dia menyebut, harga itu dirasa kemahalan. Sebab, berdasarkan penghitungan kepala desa setempat, harga per meter hanya berkisar antara Rp25 ribu-30 ribu.

Selain itu, Cholid juga memerintahkan pembuatan dokumen fiktif soal kelayakan lahan tersebut sebagai syarat pencairan uang.

“MC juga tetap memaksakan dilakukan pembelian lahan walaupun fakta dilapangan diketahui persis yang bersangkutan dengan kondisi lahan memang tidak layak untuk ditanami tebu karena faktor keterbatasan lereng, akses, dan air,” jelas Alex.

“Selain itu, ada uang sebesar Rp1 miliar yang dibagikan MHK ke berbagai pihak yang ada di PTPN IX karena mendukung kelancaran proses transaksi,” sambungnya.

Akibat perbuatan ketiga tersangka ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp Rp30,2 miliar.

Mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.