Jerman Tuduh Rusia Sengaja Targetkan Kehidupan Ekonomi Ukraina: Putin Brutal!

ERA.id - Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menuduh Rusia sengaja menargetkan kehidupan ekonomi dan energi Ukraina dalam konflik dua negara. Baerbock menyebut Presiden Rusia Valadimir Putin brutal dan sengaja menghancurkan kehidupan warga Ukraiana.

"Presiden Rusia Putin ingin menghancurkan jalur kehidupan Ukraina dengan perang agresi brutalnya,” kata Baerbock, dikutip Anadolu, Rabu (12/6/2024). 

Baerbock mengatakan serangan intensif Rusia tidak hanya menargetkan kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina tetapi juga infrastruktur ekonomi dan energi, serta masa depan negara tersebut di Uni Eropa. 

"Di tengah serangan terhadap jalur kehidupan negara mereka, rakyat Ukraina sangat membutuhkan listrik, air, dan pemanas," ujarnya. 

"Itu sebabnya di sini, dalam konferensi ini, tidak hanya politisi, pejabat pemerintah, tetapi juga wali kota, perusahaan, dan organisasi sipil hadir," tambahnya. 

Bukan hanya mengecam tindakan Rusia, Jerman juga menjanjikan dukungan kuat bagi upaya Ukraina menjadi anggota Uni Eropa. 

"Kami memperjelas di konferensi pemulihan ini bahwa kami tidak hanya melawan serangan brutal Rusia, namun kami juga membuka jalan bagi Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa," tegasnya. 

Para pemimpin dan diplomat terkemuka dari lebih dari 60 negara menghadiri konferensi dua hari di Berlin, yang bertujuan untuk memobilisasi dukungan internasional bagi stabilisasi ekonomi Ukraina, pemulihan perang, dan reformasi keanggotaan di Uni Eropa. 

Dua tahun telah berlalu setelah Rusia melancarkan operasi militer khusus ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Sekitar 18 persen wilayah Ukraina saat ini masih berada di bawah pendudukan Rusia, termasuk Semenanjung Krimea serta sebagian besar Donetsk dan Luhansk di bagian timur. 

Negara-negara Barat menyuplai peralatan tempur seperti tank militer, sistem pertahanan udara hingga artileri jarak jauh. 

Data Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia menyebut berbagai institusi Uni Eropa mengirim bantuan senilai 92 miliar dolar AS (atau sekitar Rp 1.438,42 triliun) sedangkan Amerika Serikat mengirimkan 73 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.141,35 triliun).