Didukung 80 Negara Tanpa Indonesia, KTT Perdamaian Ukraina Sahkan Deklarasi Akhir
ERA.id - KTT perdamaian di Ukraina, yang berlangsung dua hari di Burgenstock, Swiss, berakhir pada Minggu (16/6) dengan pengesahan deklarasi akhir. Indonesia menyatakan abstain dalam deklarasi akhir tersebut.
Lebih dari 90 negara menghadiri perundingan tersebut, namun komunike bersama tersebut didukung oleh hanya 80 negara dan empat organisasi. Sebanyak 16 negara dan organisasi, termasuk Indonesia, Libya, Arab Saudi, Thailand, India, Meksiko, Afrika Selatan, Brasil, dan Uni Emirat Arab abstain.
Dalam pidato penutupnya pada sidang pleno, Presiden Swiss Viola Amherd mengatakan bahwa meski berbeda pandangan mereka 'berhasil menyepakati visi bersama.'
"Kami telah menetapkan visi tersebut dalam Komunike Burgenstock," kata Amherd, dikutip Antara, Senin (17/6/2024).
"Dengan ini kita mengirim sinyal yang jelas kepada rakyat Ukraina dan semua pihak yang terkena dampak langsung akibat perang: Sebagian besar komunitas internasional mempunyai keinginan untuk membawa perubahan," sambungnya.
Lalu, kata Amherd, dengan deklarasi akhir, negara-negara telah menetapkan kerangka kerja dan diskusi lebih lanjut harus dilakukan. Amherd menyebutkan tiga topik yang akan diupayakan oleh negara-negara.
"Pertama, setiap penggunaan energi nuklir dan instalasi nuklir harus aman, terlindungi, dan ramah lingkungan. Kedua, ketahanan pangan tidak boleh dipersenjatai dengan cara apa pun," ujarnya.
"Serangan terhadap kapal dagang di pelabuhan dan di sepanjang rute, serta terhadap pelabuhan sipil dan infrastruktur pelabuhan sipil, tidak dapat diterima," tambah Amherd.
Sedangkan yang terakhir, semua tawanan perang harus dibebaskan melalui pertukaran penuh. Semua anak-anak Ukraina yang dideportasi dan dipindahkan secara tidak sah, serta semua warga sipil Ukraina lainnya yang ditahan secara tidak sah, harus dikembalikan ke Ukraina.
Dalam deklarasi bersama tersebut, negara-negara pendukung mengatakan mereka melakukan 'pertukaran pandangan yang bermanfaat, komprehensif, dan konstruktif menuju kerangka perdamaian yang komprehensif, adil dan abadi, berdasarkan hukum internasional, termasuk Piagam PBB'.
"Secara khusus, kami menegaskan kembali komitmen untuk menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun, prinsip kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah semua negara," bunyi pernyataan tersebut.
"Termasuk Ukraina, dalam perbatasan mereka yang diakui secara internasional, termasuk perairan teritorial, serta penyelesaian sengketa melalui cara damai sebagai prinsip hukum internasional," lanjut pernyataan tersebut.
Namun, mereka menggarisbawahi bahwa mencapai perdamaian 'membutuhkan keterlibatan dan dialog antara semua pihak'.
Mereka juga menyepakati visi bersama mengenai berbagai isu, termasuk penggunaan energi nuklir dan instalasi nuklir, ketahanan pangan global dan tahanan perang.
"Penggunaan energi nuklir dan instalasi nuklir harus aman, terlindungi, dan ramah lingkungan," menurut deklarasi tersebut.
"Pembangkit instalasi tenaga nuklir Ukraina, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia, harus beroperasi dengan aman dan terjamin di bawah kendali kedaulatan penuh Ukraina serta sejalan dengan prinsip-prinsip IAEA dan di bawah pengawasannya," kata deklarasi itu.
Mengenai keamanan global, ditekankan bahwa ketahanan pangan global bergantung pada produksi dan pasokan produk pangan yang tidak terputus.
"Dalam hal ini, navigasi komersial yang bebas, penuh dan aman, serta akses ke pelabuhan laut di Laut Hitam dan Laut Azov, sangatlah penting," menurut deklarasi.
"Serangan terhadap kapal dagang di pelabuhan dan sepanjang rute, serta terhadap pelabuhan sipil dan infrastruktur pelabuhan sipil, tidak dapat diterima," bunyi deklarasi itu.
Deklarasi itu menyebutkan bahwa ketahanan pangan 'tidak boleh dijadikan senjata dengan cara apa pun'. Dan yang terakhir, menurut deklarasi tersebut, tawanan perang 'harus dibebaskan dengan pertukaran penuh'.
"Semua anak-anak Ukraina yang dideportasi dan dipindahkan secara tidak sah, serta semua warga sipil Ukraina lainnya yang ditahan secara tidak sah, harus dikembalikan ke Ukraina," tambah deklarasi itu.
KTT perdamaian Ukraina digelar dengan tujuan untuk menemukan 'pemahaman bersama' mengenai jalan menuju perdamaian, namun tidak dihadiri oleh Rusia dan China.