Soal Kasus Mardani Maming, Todung Mulya Lubis: Hakim Paksakan Konstruksi Hukum
ERA.id - Aktivis hak asasi manusia Todung Mulya Lubis menilai hakim menangani perkara korupsi Mardani Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan periode 2010-2015 dan 2016-2018, memaksakan konstruksi hukum.
Todung menilai, langkah tersebut untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Todung bilang, pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah. Penilaian itu, kata Todung, hakim sebenarnya sedang melakukan analogi.
”Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana,” jelas Todung dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (2/11/2024).
"Korupsi memang masalah serius bagi bangsa ini. Namun tidak berarti penanganannya bisa dilakukan secara serampangan. Ketika ada miscarriage of justice dalam penanganan perkara termasuk perkara korupsi, seharusnya terdakwa dinyatakan bebas," ucap Todung.
Miscarriage of justice merupakan peradilan sesat. Todung menghubungkan dalam penjatuhan pidana terhadap Maming. Menurutnya, keputusan tersebut dipaksakan karena tidak didasarkan pada alat bukti yang memadai.
”Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry pick terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya,” papar Todung.
"Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti,” sambung Todung.
Todung bilang, langkah korektif pun merupakan keniscayaan dalam kasus ini. "Indonesia memang tidak mengenal langkah retrial seperti di Inggris. Namun keberadaan lembaga peninjauan kembali bisa menjadi opsi untuk melakukan koreksi ini,” terang Todung.
Secara spesifik dalam perkara Maming, dia berharap agar Mahkamah Agung, dalam proses peninjauan kembali, bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi dan mengoreksinya. Todong pun akan menyiapkan amicus curiae dan akan mengirimkannya ke Mahkamah Agung.