Komnas HAM: Ada Pelanggaran Berat dalam Pembantaian Dukun Santet
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menjelaskan, dari hasil penyelidikan tim ad hoc, identitas pelaku saat itu merupakan orang yang memiliki keterampilan lebih dari orang biasa.
"Melihat flow kejahatan seperti serangan masif kepada korban, yaitu orang-orang yang memiliki potensi untuk diserang karena ada keresahan sosial. Orang yang menjadikan mereka sasaran adalah orang yang bisa membaca gejolak sosial di masyarakat. Itu artinya orang terlatih," jelas Anam di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).
Pembantaian dukun santet di Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang diduga melakukan praktek santet dalam kurun Februari hingga September 1998. Selain di Banyuwangi, peristiwa itu juga terjadi di Jember, Malang, hingga Pangandaran.
Peristiwa itu berlangsung bertepatan dengan pergantian kekuasaan dari Soeharto ke B.J Habibie. Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik memerintahkan aparat mendata dan melindungi orang-orang yang diduga punya kemampuan supranatural. Data tersebut kemudian bocor, hingga terjadi pembantaian besar-besaran terhadap warga yang dicurigai sebagai dukun santet.
Hasil penyelidikan lain yang mengungkapkan, kata Anam, kebanyakan korban bukanlah dukun santet. Melainkan guru mengaji, mantri, hingga tokoh masyarakat setempat. Sejumlah korban selamat menuturkan pelaku menggunakan penutup kepala seperti ninja.
"Dari tokoh-tokoh agama, geser ke isu ninja. Dari isu ninja lalu banyak orang gila dimana-mana dan akhirnya isu berikutnya menjadi isu orang gila, itu juga dilakukan oleh pelaku yang pasti memiliki tingkat keterampilan yang lebih dari yang lain," ungkap Anam.
"Jadi mereka mampu memanaskan kondisi di masyarakat, dia menggunakan bahasa yang tidak dikenali oleh masyarakat. Dan isu-isu yang memang spesifik memang di-create," lanjut dia.
Komnas HAM mencatat dalam peristiwa itu 194 orang dibunuh di Banyuwangi, 108 di Jember dan 7 orang di Malang. Selain itu, kebanyakan korban juga mengalami penganiayaan.
Anam menuturkan Komnas menemukan pembunuhan tersebut dilakukan secara sistemik. Pembunuhan, kata dia, selalu menggunakan tindakan yang sama dan berulang. Pelaku mengidentifikasi korban, kemudian massa mendatangi korban dan menganiaya serta merusak rumah korban.
"Kami yakin ada pemetaan, makanya dia bisa memanajemeni konflik ini dengan sangat baik. Berikutnya, yang terjadi di hampir semua tempat di Jawa Timur itu dengan pola yang sama. Tidak mungkin itu dilakukan oleh yang biasa-biasa saja," tuturnya.
Unsur sistematis, kata Anam, terpenuhi melihat adanya pengkondisian dan lambatnya aparat bergerak. Anam mengatakan tim Adhoc Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus ini sejak 2015. Berkas hasil penyelidikan telah disebarkan ke Kejaksaan Agung pada November 2018.