Langkah OSO ke Gedung DPD Belum Terhenti
Jakarta, era.id - Oesman Sapta Odang akhirnya buka suara setelah sekian lama irit berkomentar dan lebih memilih kuasa hukumnya yang bicara soal polemik pencoretan namanya dari anggota calon DPD oleh Komisi Pemilihan Umum (Umum).
KPU telah menutup kesempatan agar OSO bisa masuk DCT dengan syarat harus mengundurkan diri dari jabatan di partai politik, setelah membuka batas waktu hingga Selasa (22/1). Malam tadi, OSO kukuh. Ia bilang dirinya tak akan mundur dari Ketua Umum Hanura.
"Prinsip saya, saya tidak akan pernah mundur. Kenapa saya enggak mau bicara selama ini, karena sudah ada yang bicara pengacara hukum, karna saya enggak mengerti hukum. Tapi setelah keputusan hukum berlaku maka saya berhak berbicara untuk hukum itu sendiri," ucap OSO di Jakarta, Selasa (22/1).
Berbagai jalur hukum memang telah ditempuh OSO agar bisa masuk dalam daftar caleg DPD. Berangkat dari putusan MA yang membatalkan frasa pemberlakuan larangan caleg sejak berlaku surut. Ia mengajukan gugatan ke PTUN, dan pengadilan memerintahkan KPU membatalkan SK DCT caleg DPD dan memasukkan nama OSO ke dalamnya.
KPU menindaklanjuti dengan memberikan kelonggaran waktu pada OSO untuk masuk DCT namun tetap harus mundur dari parpol. OSO pun melaporkan ke Bawaslu. Hasilnya, Bawaslu memerintahkan KPU untuk memasukkan OSO dalam daftar calon anggota DPD dalam Pemilu 2019, dengan syarat OSO tetap harus mundur sebagai pengurus Partai Hanura jika kembali lolos sebagai anggota DPD periode 2019-2024.
Lagi-lagi, KPU tetap tak memasukkan nama OSO dan memberikan kelonggaran waktu lagi pada OSO untuk keluar dari parpol, sampai kemarin. OSO juga telah meminta PTUN untuk memerintahkan KPU mengeksekusi gugatan yang sebelumnya dimenangkan OSO.
"Semua jalur hukum sesuai dengan UU pemilu sudah selesai. Berdasarkan pasal 470, sudah jelas diatur bahwa KPU wajib melaksanakan putusan Pengadilan TUN. Dengan demikian, Komisioner KPU tentunya akan berhadapan dengan hukum. Bukan lagi berhadapan dengan OSO," ungkap kuasa hukum OSO Dodi Abdul Kadir.
Dengan demikian, kata Dodi, setelah ini pihaknya tinggal menunggu apakah KPU tetap tak mematuhi perintah PTUN yang terancam mendapat sanksi pidana, atau mematuhi perintah PTUN dan memasukkan nama OSO.
"Langkah setelah ini adalah penegak hukum yang mengambil langkah, bukan OSO. Karena sudah merupakan ranah hukum publik, pelanggaran kepada UU ranahnya hukum publik. Bukan delik aduan lagi," tuturnya.
Ancaman pidana umum yang dibawa oleh kubu OSO melalui PTUN adalah Pasal 216 Ayat (1) KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Sebelumnya, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menegaskan bahwa keputusan KPU yang memberi batas OSO untuk masuk dalam DCT sampai malam tadi merupakan keputusan bersama secara kolektif kolegial.
"Keputusan ini berasal dari rapat pleno yang merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan KPU. Terkait debgan konsekuensi atas keputusan ini, tentu saja seluruh anggota KPU RI bertanggung jawab atas keputusan kolektif kolegial dalam rapat pleno tersebut," jelas Wahyu.