Pasal 5 RUU Permusikan Bikin Keder Musisi

Jakarta, era.id - Para musisi dengan tegas menolak RUU Permusikan. Terlebih adanya sejumlah pasal yang akan menghambat kreativitas para musisi dalam menciptakan karya mereka.

"Saya beri beberapa contoh dari satu pasal, yaitu pasal 5 dalam RUU Permusikan, supaya kita tahu dimensinya ini separah apa," ungkap Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (6/2/2019).

Pada pasal itu melarang musisi untuk mendorong kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, pornografi, kekerasan seksual, eksploitasi anak, serta memprovokasi pertentangan antarkelompok, antarsuku, antaras, dan antargolongan.

Dalam frasa "mendorong dalam melakukan proses kreasi", setiap orang dilarang melakukan kekerasan dan perjudian, dan ada lagi mendorong tindakan melanggar hukum. 

"Kalau dalam ranah hukum, ini jadi pasal karet. Bisa aja nanti ketika kami bernyanyi, terjadi perjudian di wilayah sekitar yang tidak ada hubungannya, lalu ada anggapan karena kita bernyanyi, terus ada yang berjudi, kita dianggap mendorong itu," tutur Asfi.

Frasa lain, yang dimaksud Asfi juga tidak jelas mengatur soal maksud dari provokasi. Yang lain, frasa "membawa pengaruh negatif budaya asing" juga tidak menjelaskan budaya apa saja yang bersifat negatif.

Lebih lanjut, dalam melakukan proses kreasi ada frasa yang melarang musisi membuat lirik dan bermusik yang merendahkan harkat dan martabat manusia. 

"Saya dengar beberapa musisi lagunya misalnya mengangkat soal kekerasan seksual, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan, saat dia menyebut kata kata itu, dianggap merendahkan kemanusiaan. Padahal dia hanya menggambarkan peristiwa kekerasan pemerkosaan," urainya.

Namanya larangan, pasti ada hukuman bagi yang melanggar. Pasal 50 dalam RUU Permusikan jelas mengatur ancaman hukuman pidana penjara. Kalau pasal ini diberlakukan, tak bisa dibayangkan berapa banyak orang yang akan dipenjara karena mengait-ngaitkan dengan konser musik dan peristiwa kekerasan.

Buat Asfi, musik adalah hal yang sangat serius. Dalam perjalanan rezim tertentu, musik menjadi sarana untuk mengekspresikan berbagai kritik sosial dan indikator demokrasi. 

"Kita bayangkan, kalau ada sebuah negara takut terhadap buku, film, musik, pemerintahan macam apa itu. Kalau itu sudah dikekang, bagaimana kita bisa mengungkapkan kritikan yang lebih jelas itu?" tanya dia.

Lanjut Asfi, sebagai lembaga parlemen, DPR harusnya menarik proses RUU ini, menghentikan, dan menyerahkan kembali, bukan kepada RUU-nya, tapi kepada naskah akademis terhadap RUU-nya.

"DPR harusnya berdiskusi kepada kelompok atau pegiat yang paling paham apakah perlu ada UU yang mengatur permusikan. Kalau perlu, tanya bagian mananya yang perlu diatur, bagaimananya yang tidak diatur. kalau sudah, baru pokok pikirannya itu disusun menjadi naskah akademik," tutup dia.

 

Tag: musik kok diatur