Benarkah APBN Indonesia Bocor?

Jakarta, era.id - Polemik kebocoran anggaran negara Indonesia sebesar 25 persen menjadi bola liar di masyarakat. Isu ini sebenarnya "mainan" lama yang sudah digulirkan sejak era rezim orde baru, oleh ekonom Sumitro Hadikusumo, bapak dari calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Lantas apa benar negara ini tengah dilanda permasalahan kebocoran anggaran seperti dikatakan Prabowo?

Narasi soal kebocoran anggaran digulirkan Prabowo Subianto saat berpidato dalam acara HUT Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di Mahaka Square, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (6/2) lalu. Ia mengatakan sebanyak 25 persen dari total anggaran pemerintah bocor setiap tahun. 

Konsepnya Masih Abstrak

Isu kebocoran ini sebenarnya sudah lama bergulir dan isu tipikal perekonomian di negara-negara dunia ketiga. Ekonom zaman orde baru Sumitro Djojohadikusumo pernah menyentil soal kebocoran anggaran pada 1993. Menurutnya pada periode itu kebocoran anggaran mencapai angka 30 persen seperti dikutip setkab.go.id. Kendati demikian detail penjelasannya tidak pernah disampaikan ke publik sampai saat ini.

Senada dengan itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan konsep kebocoran anggaran itu masih belum jelas. Menurutnya, konteks kebocoran APBN itu tidak benar, melainkan lebih tepat melihat soal sudah efisienkah investasi di Indonesia. 

"Kalau yang dimaksud Prabowo bocor justru APBN itu sudah masuk ranah korupsi," kata Bhima saat dihubungi era.id lewat aplikasi pesan WhatsApp.

Nilai kebocoran anggaran yang mencapai 25 persen tersebut dianggap terlalu besar, dan apabila yang dimaksud Prabowo kebocoran APBN tersebut, menurut Bhima "sudah masuk ranah korupsi." Agar tidak menjadi polemik, Bhima menyarankan, "Prabowo perlu buka metodologi dan datanya ke penegak hukum dan publik," tukasnya.

Dimensi atau tolok ukur yang digunakan menyangkut isu kebocoran anggaran ini masih belum pasti. Soalnya, selama ini isu tersebut justru menitikberatkan pada persoalan efisiensi. 

Menurut Bhima, secara teori, ukuran mengenai efisiensi perekonomian di suatu negara dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Secara umum, ICOR adalah suatu ukuran yang menunjukan besarnya tambahan investasi baru yang dibutuhkan untuk menaikkan output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. 

Sementara itu, idealnya nilai ICOR yang efisien berada di kisaran 3-4 persen, yang artinya untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) 1 persen di suatu negara, dibutuhkan tambahan investasi hingga 3-4 persen. Semakin kecil nilai ICOR menandakan semakin efisien proses investasi, sebaliknya nilai ICOR yang membesar menunjukan semakin tidak efisien proses investasi. 

Nilai ICOR Tinggi Sejak 2011

Menurut data nilai ICOR Indonesia dari Indef yang diberikan kepada era.id, menunjukan tren meningkat. Berdasarkan data itu, angka ICOR Indonesia sudah menandakan tidak ideal dari zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2011, yang menyentuh angka 5,02 persen. 

Nilai ICOR terus merambat naik sejak 2011. Pada 2012 misalnya, angka ICOR meningkat menjadi 5,27 persen, sementara pada 2013 menyentuh angka lebih tinggi sebesar 5,89 persen. Sedangkan pada tahun 2014, angka ICOR naik pesat menjadi 6,64 persen. 

Memasuki era rezim Presiden Joko Widodo, angka ICOR masih menunjukan peningkatan yakni menjadi 6,64 persen pada 2015. Lalu pada tahun berikutnya angka ICOR berhasil diturunkan menjadi 6,46 persen. Perununan tersebut pertama kali terjadi sejak 2011.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia dan Thailand misalnya, angka ICOR Indonesia masih tertinggal. Walaupun masih lebih baik dari negara Meksiko yang mencapai 13 persen pada 2017.

Menurut ekonom Eko Listiyanto dikutip dari kontan.co.id, masih tingginya angka ICOR karena sebagian besar permasalahan investasi belum bisa diselesaikan pemerintah.

Beberapa permasalahan tersebut di antaranya soal biaya logistik yang masih mahal, sarana infrastruktur dan energi yang masih kurang mendukung, biaya perizinan, adanya rantai birokrasi, permasalahan kepastian hukum, sampai masih adanya praktik korupsi. 

Tag: pilpres 2019 jokowi prabowo subianto