Mantan Manten: Benturan Antara Romansa Dan Tradisi

Jakarta, era.id - Tak bisa dipungkiri bahwa waktu terus berevolusi. Seiring perkembangan jaman, membuat manusia menjadi penyembah modernitas dan buntutnya, mengikis tradisi budaya yang sudah dianut turun temurun. Salah satu bentuk tradisi adalah menentukan pasangan. 

Hal itulah yang tergambar dalam kisah Mantan Manten. Meski dua frasa itu terdengar seperti kisah romantisme yang guyon, namun ternyata isinya adalah kisah antara cinta modern melawan tradisi budaya yang memiliki banyak lorong labirin. Apalagi yang diangkat adalah tradisi para kelompok elite darah biru di lingkungan keraton. 

Film garapan Visinema Pictures (Keluarga Cemara, dan Terlalu Tampan) tersebut dibintangi Atiqah Hasiholan, Arifin Putra, Tyo Pakusadewo, Tutie Kirana, Marthino Lio, Dodit Moelyanto, dan beberapa pemain lainnya. Film tersebut digarap Farishad Latjuba sebagai sutradara dibantu dua produser besar, yaitu Anggia Kharisma (Keluarga Cemara) dan Kori Adyaning (Love For Sale)

Mantan Manten bercerita tentang Yasnina (Atiqah Hasiholan), seorang manajer investasi, sukses, dan mandiri. Ia memiliki segalanya, termasuk calon tunangan Surya (Arifin Putra). Semua terlihat sempurna sampai akhirnya ayah dari Surya yang bernama Iskandar (Tyo Pakusadewo) menjebaknya sebagai kambing hitam dalam kasus investasi bodong. Kasus itu merenggut kehidupannya sehingga ia tak punya apa-apa lagi.

Yasnina ingin membalas kelakuan Iskandar, namun ia tak memiliki kemampuan finansial. Satu-satunya harapan adalah aset rumahnya di Tawangmangu, Karanganyar yang diharapkan digunakan untuk melawan Iskandar.

Sayangnya, rumah yang ditempati oleh seorang dukun manten bernama Marjati (Tutie Kirana) tersebut belum sempat balik nama. Ia pun kesulitan meminta tandangan Ibu Marjati yang ternyata berniat untuk membatalkan untuk menjualnya. 

Selain itu, Marjati punya niat mengangkat Yasnina sebagai penerusnya menjadi dukun manten berdasarkan mimpinya. Dia bersedia menandatangani surat balik nama tersebut dengan syarat Yasnina harus tinggal tiga bulan di rumah itu dan bersedia menjadi asisten dukun manten. Dengan berat hati, Yasnina pun menyanggupi karena tak punya pilihan lain.

Culture Shock

Film ini sejatinya syarat makna karena mengangkat idelisme tradisi Paes Manten yang biasa memberikan konsultasi pernikahan dalam adat Jawa. Segala pernak-pernik mengenai filosofi dan ritual tentang paes manten tradisi Jawa disuguhkan dengan begitu apik. Termasuk janji untuk melayani keraton secara turun temurun yang membawa kisah ini memasuki sosialita para ningrat yang memiliki relasi kuasa untuk tradisi.

Plot yang disuguhkan terbilang cukup elegan dan berkelas. Bahkan bisa membuat terpukau para penonton, khususnya di bagian eksposisi cerita. Para penonton disuguhi cerita drama kriminal tentang investivasi bodong dan pengkhianatan di awal-awal. 

Kasus yang menghantui Yasnina membuat ia terpaksa meminta bantuan ayah kekasihnya, yang ternyata membawa petaka bagi dirinya. Hal itu membuat tokoh Yasnina geram. Adegan tersebut dibumbui dengan beberapa istilah finance dan investasi keuangan, sehingga beberapa menit awal terasa memiliki tema yang berat, namun mengubah presepsi para penonton akan dunia penuh warna merah jambu yang diwakilkan oleh posternya.

Sayangnya, tone dan mood cerita suram, berat, dan bertema fraud itu serta merta dipotong ketika tokoh Yasnina mengunjungi desa Tawangmangu. Suasana kemudian berubah. Berwajah pedesaan yang kental dengan hamparan hijau dan keluguan para penduduk desa yang masih menjujung tradisi takhayul tentang budaya manten Jawa. Ditambah kesan mistis menyelimuti sang tokoh dukun manten, Ibu Marjati yang berbicara dengan sosok hantu suaminya atau mimpi yang aneh.

Tubrukan tone tersebut juga mempengaruhi karakter Yasnina. Demi mendapatkan kehidupan modern dan glamornya kembali, ia harus rela belajar tradisi dukun manten Jawa. Patahan tone dan mood cerita pun terjadi. Tokoh yang benar-benar berada dalam patahan itu tentu menjadi pusat perhatian. Ia jenis karakter yang dalam cerita ini meengalami evolusi, baik dari segi pandangan maupun motivasi. 

Atiqah sangat piawai memainkan perannya di sini meski tantangannya begitu besar berada dalam patahan tersebut. Karakternya yang awalnya berdandan glamor, sedikit-sedikit ngomong Inggris, dan punya jiwa pemberontak ternyata harus mengalami peredaman. 

Sayangnya tidak terlihat perlawanan berlebih ketika ia harus menerima kenyataan dirinya harus mengikuti tradisi seperti mandi air dari tujuh mata air, semedi, puasa muteh, dan memperlajari benda pusakan, dan ritual pernikahan ala Jawa.

Salah satu adegan yang menjadi titik balik karakter itu adalah ketika seorang calon penganten perempuan menangis dan ingin membatalkan pernikahannya karena takut menghadapi masalah ekonomi. 

Sang dukun Marjati yang dipanggil oleh orang tua sang penganten tak bisa memberi solusi. Di situlah Yasnina masuk dan memberikan nasehat finansial (sesuai dengan profesinya) kepada sang pengantin perempuan. Sebuah awal mula, sang tokoh akhirnya menerima perubahan dirinya secara sadar sebagai asisten dukun manten.

Tiga tokoh lain yang banyak mempengaruhi cerita adalah sosok Surya, Iskandar, serta Bu Marjati. Surya adalah pria mapan yang memiliki kepribadian sedikit berbeda dengan ayahnya yang arogan dan picik. 

Sejalan dengan itu, ia juga tidak bisa tegas atau memiliki jiwa pemberontak macam Yasnina. Sehingga ia tidak bisa melawan kebijakan sang ayah, terutama ketika sang ayah menjodohkan dengan putri keturunan keraton yang kaya raya. 

Ayahnya, Iskandar sendiri juga ternyata memiliki sisi lain di luar sifatnya yang arogan tersebut. Ia tetap menjunjung tradisi Jawa dan tetap tunduk dengan petuah dari dukun manten. Bahkan ia berani memohon agar semuanya berjalan sesuai tradisi.

Sementara itu, tokoh Bu Marjati digambarkan dengan sosok yang konservatif, sebagai penjaga tradisi, sekaligus mengekang pandangan hidup orang lain. Tentu sifat konservatif terlihat melanggengkan tradisi patriakis dalam balutan tradisi lokal dan akan bersinggungan dengan mereka yang progresif. 

Romansa pun bersinggungan. Kisah cinta Yasnina dan Surya pun dihalangi kekuatan budaya dan kenyataan bahwa ia menikahi anak dari orang yang dibenci. Apalagi Surya, yang tidak bisa apa-apa ketika sang ayah akan menjodohkan dengan wanita keturunan ningrat. Pemikiran mereka yang progresif akan romansa tak bisa berkutik di tangan adat istiadat. 

Sayangnya, tema yang menarik ini tidak dibungkus dengan kelengkapan plot dan penyelesaian yang elegan. Ada beberapa loncatan-loncatan yang menyisakan lubang di hati para penonton. Bahkan tokoh karakter jenaka macam Dodit Mulyanto tiba-tiba menghilang dan tak muncul lagi mulai dari klimaks sampai kisah ini berakhir. Terkesan tidak halus dalam menghilangkan keberadaan sang tokoh yang menyita perhatian penonton dengan banyolannya.

Film ini diberi rating 6,5/10 sebagai film yang siap bertanding di antara film-film Indonesia lainnya yang muncul bersamaan, seperti Bumi Itu Bulat, dan Sunyi. Mantan Manten sendiri sudah bisa disaksikan secara serentak di bioskop kesayangan mulai 4 April 2019 mendatang. 

Tag: film indonesia hari film nasional 2018