Setara Institute Tagih Janji Jokowi Bentuk Pusat Legislasi Nasional
Desakan itu didasari janji Jokowi dan Ma'ruf Amin saat debat Pilpres 2019 lalu. Saat itu, Jokowi menanggapi jawaban Prabowo Subianto soal sinkronisasi peraturan dengan mengoptimalkan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
"Hari ini adalah momentum untuk menagih janji kepada Pak Jokowi untuk membentuk pusat legislasi nasional," ucap Direktur Eksekutif SETARA, Ismail Hasani saat diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).
Ismail mengungkapkan alasan pihaknya mendesak, karena ada temuan 91 produk hukum di Jawa Barat dan 24 produk hukum di Yogyakarta yang berpotensi diskriminatif terhadap akses pelayanan publik.
"Jadi, produk-produk daerah ini sebenarnya muncul ketika paket kebiajkan otonomi daerah muncul, tetapi ada yang offside, di mana produk hukum daerah selain menjadi alat politisasi identitas, juga menjadi instrumen diskriminasi intolransi, bahkan melakukan kekerasan," ucap Ismail.
Ismail melanjutkan, pembentukan lembaga ini membutuhkan rekonsiliasi kewenangan pengawasan Kementerian Dalam Negeri dan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM sekaligus memutus tarik menarik kewenangan dan ego sektoral dua kementerian ini, dalam penanganan produk hukum daerah.
"Untuk membentuk Badan ini, Jokowi cukup menerbitkan Peraturan Presiden dengan menghimpun kewenangan-kewenangan eksekutif yang tersebar di Kementerian dan Pemerintah Provinsi sebagai tugas pokok Badan baru," ungkapnya.
Ismail mengambil contoh kasus 32 produk hukum daerah yang dikaji. Ada 2 produk hukum daerah di Jawa Barat mendiskriminasi secara langsung (direct discrimination) kelompok Ahmadiyah, yaitu Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat dan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 503/367-Huk Tentang Pembatalan Surat Keputusan No. 601/389-Pem Tahun 2006 Tentang Pendirian Gereja Yasmin Bogor.
Sementara, 1 produk hukum daerah di Yogyakarta, yaitu Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. K.898/1/A/1975 Tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi mendiskriminasi langsung (direct discrimination) etnis Tionghoa.
Produk hukum diskriminatif ini, kata Ismail, akan menjadi bom waktu, menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama, dan ikatan sosio-kultural lainnya.
"Selain mengandung masalah inkonstitusionalitas, produk hukum daerah diskriminatif telah digunakan untuk melegitimasi serangkaian perilaku intoleran, mulai dari stigma sosial yang dimiliki individu, main hakim sendiri dan kekerasan yang didukung negara terhadap kelompok minoritas," pungkasnya.