Tanos dan Tiga Lainnya Jadi Tersangka Kasus e-KTP
"Dalam perkembangan proses penyidikan dan setelah mencermati fakta yang muncul di persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain dalam dugaan korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) tahun 2011-2013 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (13/8/2019).
Selain Paulus Tanos, KPK menetapkan tiga orang lainnya yaitu Miriam S Hariyani yang merupakan anggota DPR RI 2014-2019; Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI dan Ketua Konsorsium PNRI, Isnu Edhi Wijaya; serta Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP, Husni Fahmi.
Saut menerangkan, Miriam punya peran memperkaya Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR sebesar 1,2 juta dolar AS terkait proyek ini.
Dia menyebut, pada bulan Mei 2011 setelah RDP antara Komisi II DPR RI dan Kemendagri dilakukan, Miriam sempat meminta uang sebesar 100 ribu dolar AS kepada Irman yang merupakan pejabat Kemendagri yang kemudian digunakan untuk pembiayaan kunjungan kerja Komisi II ke berbagai daerah.
"Permintaan itu kemudian disanggupi dan penyerahan uang dilakukan di sebuah SPBU di Pancoran, Jakarta Selatan lewat perwakilan MSH (Miriam)," jelas Saut.
Selain itu, Saut mengatakan, Miriam juga sempat meminta uang, dengan kode 'uang jajan' kepada Irman yang saat itu jadi Dirjen Dukcapil Kemendagri yang mengurusi megaproyek tersebut.
"Permintaan uang tersebut ia atasnamakan rekan-rekannya di Komisi II yang akan reses," ungkapnya.
Tak hanya itu, sejumlah permintaan uang juga terus dilakukan oleh Miriam sepanjang tahun 2011-2012 kepada dua pejabat Kemendagri yaitu Irman dan Sugiharto.
Sementara, peran Isnu, berasama Paulus dan Andi Narogong (terpidana kasus e-KTP) meminta komitmen fee kepada mereka yang ingin bergabung di konsorsium PNRI. Fee ini diberikan untuk anggota DPR RI, Kemendagri, dan sejumlah pihak lain.
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, Manajemen bersama Konsorsium PNRI diperkaya Rp137,98 miliar dan Perum PNRI diperkaya Rp107,71 miliar terkait proyek e-KTP ini," ujarnya.
Sementara Husni Fahmi, kata Saut, memiliki peran melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak vendor. Padahal, Husni merupakan Ketua Tim Teknis dan panitia lelang. Dalam pertemuan itu, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya dengan bertujuan mark-up. Setelah itu, Husni kemudian melaporkan kepada Sugiharto.
Akibatnya, dari fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, Husni kemudian diduga diperkaya 20 ribu dolar AS dan Rp10 juta.
Lalu, Direktur PT. Sandipala Arthaputra Tanos disebut telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan Husni Fahmi dan Isnu Edhie Wijaya. Pertemuan ini dilakukan di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Sejak pertemuan itu, kata Saut, mereka melakukan pertemuan secara terus menerus selama 10 bulan dan menghasilkan beberapa keputusan, seperti SOP pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana, dan spesifikasi tekis yang kemudian menjadi dasar penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yang kemudian ditetapkan oleh Pejabat Kemendagri, Sugiharto pada 11 Februari 2011.
Tak hanya itu, Saut menyatakan, Tanos pernah bertemu dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem, dan Isnu untuk membahas fee sebesar 5 persen sekaligus skema pembagiannya kepada anggota DPR RI dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthapura diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait proyek e-KTP ini," ujar Saut.
Akibat perbuatannya, keempat orang ini dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
KPK minta semua pihak bisa bersikap taat hukum dan kooperatif terkait pengusutan kasus korupsi e-KTP. Apalagi, saat ini sudah ada 14 orang yang diproses dalam kasus ini, yang di antaranya dihukum melakukan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan.
"Jika ada upaya menghambat proses hukum, maka terdapat resiko pidana sebagaimana diatur di Pasal 21 UU Tipikor," kata Saut.
Tak hanya itu mengingatkan soal obstruction of justice, Saut juga menegaskan agar semua saksi yang dipanggil oleh penyidiknya bisa berbicara jujur sesuai dengan fakta yang ada saat korupsi itu terjadi.
"Kami juga agar saksi-saksi yang dipanggil bicara secara jujur karena jika terdapat keterangan bohong, terdapat ancaman pidana sebagaimana diatur di Pasal 22 UU Tipikor," tegasnya.
Selain mengingatkan semua pihak yang terkait dalam kasus megakorupsi ini untuk kooperatif, Saut juga meminta agar Perum PNRI dan PT. Sandipala Arthapura serta pihak lain yang diperkara dan telah menikmati aliran dana e-KTP agar mengembalikan uang itu kepada negara melalui KPK.
"Hal tersebut akan dipertimbangkan sebagai faktor meringankan," ujar dia.
Lembaga antirasuah ini, kata Saut bakal terus mengusut kasus tersebut. Sebab, selain merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun, kasus ini juga berdampak luas kepada masyarakat.
"Akibat perbuatan para pelaku korupsi ini, terdapat ancaman dan resiko terhadap keamanan data kependudukan hingga kedaulatan kita dalam mengelola dan melindungi data warga negara," ungkapnya.
Dengan ditetapkannya eks anggota DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI dan
Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos, serta Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi, artinya lembaga antirasuah ini telah menetapkan 14 tersangka.
"Sampai saat ini, total KPK telah memproses 14 orang dalam perkara dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik ini dan perkara terkait, yaitu obstruction of justice dan kesaksian palsu," jelas Saut.
Mereka yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dan telah menjalani persidangan adalah: Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman, Mantan pejabat Kemendagri Sugiharto, Mantan Ketua DPR Setya Novanto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Eks Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.
Selain itu ada juga Keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Pengusaha Made Oka Masagung, dan Markus Nari.
Sementara tersangka terkait obstruction of justice adalah mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, dokter Bimanesh Sutarjo yang menyebut kondisi Novanto memburuk pasca menabrak tiang listrik. Ada juga eks anggota DPR Miryam S Haryani yang pernah memberikan keterangan palsu di persidangan bersama dengan anggota DPR lainnya, Markus Nari.