Upaya Senyap DPR Menghidupkan Lagi RUU KPK

Jakarta, era.id - Revisi Undang-Undang (RUU) No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali muncul di permukaan. Di saat publik tengah fokus dengan pemilihan calon pimpinan KPK, anggota DPR diam-diam terus memproses revisi UU yang mengatur lembaga antirasuah tersebut.

Tanpa diketahui, revisi UU KPK tersebut telah diputuskan dalam rapat Badan Legislatif (Baleg) pada 3 September lalu. Pimpinan Baleg DPR telah mengirim surat kepada Wakil Ketua DPR untuk menjadwalkan penetapan RUU tentang Perubahan kedua atas UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, dalam rapat paripurna pada, Kamis (4/9) siang.

Ada dua agenda dalam rapat paripurna hari itu. Di mana salah satunya, mendengarkan pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU usulan Baleg DPR RI tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Anggota Komisi III Masinton Pasaribu mengatakan, meski revisi UU KPK sempat ditolak, bukan berarti tidak ditindaklanjuti. Apalagi, revisi ini bukan pembahasan yang baru. Sebab, hanya meneruskan hasil temuan setelah panitia khusus (Pansus) KPK bekerja.

Semangat merevisi UU KPK disisa waktu masa jabatan DPR periode 2014-2019, kata Masinton, berangkat dari fungsi DPR untuk melakukan legislasi review terhadap seluruh produk perundangan-undangan, termasuk UU KPK.

“Kita ingin penegakan hukum ke depan memiliki suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Bahwa dibahas sekarang, kan bertepatan juga dengan adanya pimpinan KPK yang akan menjabat Desember. Sehingga, pimpinan KPK yang baru nanti sudah bisa bekerja menggunakan UU yang baru juga,” jelasnya.

Politisi PDIP ini menjelaskan, tahun 2017 lalu pemerintah dalam hal ini Menkum HAM dan Kepala Staf Kepresidenan beserta DPR sudah menyepakati ada empat hal yang perlu direvisi terbatas dalam UU KPK.

Sekali pun RUU KPK tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolagnas) prioritas 2019. RUU KPK ada di dalam prolegnas jangka menengah 2015-2019 sebagai usulan DPR RI.

Masinton mengklaim, bahwa revisi UU KPK ini akan mulus perjalananya di rapat paripurna berikutnya. Sebab, revisi ini adalah usulan Baleg yang di dalamnya mewakili 10 fraksi yang ada di Parlemen.

“Kalau sudah diusulkan Baleg berarti sudah diterima 10 fraksi. Pemerintah juga berarti sudah tidak ada masalah, karena memang ini sudah dibahas bersama pemerintah kan dulu. Ini tinggal meneruskan saja,” jelasnya.

Tak Melibatkan KPK

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah pernah mengatakan, jika lembaga antirasuah itu belum mengetahui rencana penyusunan revisi UU KPK.  “Bagi kami saat ini, KPK belum membutuhkan revisi terhadap UU 30 Tahun 2002 tentang KPK. Justru dengan UU ini KPK bisa bekerja menangani kasus-kasus korupsi, termasuk OTT.  Serta upaya penyelamatan keuangan negara lainnya melalui tugas pencegahan,” ujar Febri kala itu.

Seandainya revisi tersebut tetap diputuskan, maka perlu andil presiden dalam menyetujui RUU KPK itu. Direktur HICON Law & Policy Strategic Hifdzil Alim menyebut, upaya menghidupkan kembali revisi UU KPK adalah salah satu cara pelemahan ‘taring’ lembaga antirasuah.

“Ketika dulu revisi UU KPK itu mendapat pemolakan, tentu ada alasannya. Karena dianggap melemahkan KPK,” katanya, saat dihubungi era.id, di Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Berdasarkan draf laporan pimpinan Baleg yang diterima era.id, materi muatan revisi UU KPK tersebut meliputi perubahan status kepegawaian para pegawai KPK menjadi ASN; kewenangan penyadapan; pembentukan Dewan Pengawas; KPK tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; peralihan pelaporan LHKPN; serta kewenangan KPK untuk menghentikan perkara.

Merujuk data revisi UU KPK yang diperoleh ICW tahun 2016 lalu, institusi antirasuah baru bisa melakukan penyadapan apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup dan mendapat izin dari dewan pengawas. Dewan pengawas berisi orang-orang yang nantinya dipilih oleh Presiden untuk mengawasi kinerja KPK.

Artinya, sebelum itu penyadapan tidak mungkin terjadi. Akibatnya, operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi jurus jitu KPK semakin kecil kemungkinannya untuk dilakukan.  “Kemungkinan besar akan dapat penolakan dari publik,” jelas mantan Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM ini.

Materi yang tidak kalah kontroversial yakni surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penuntutan. Padahal, selama ini sesuai aturan UU yang berlaku kini, institusi antirasuah dilarang menghentikan penyidikan perkara korupsi.

 

Tag: ketua dpr kpk