Ngototnya DPR soal Revisi UU KPK
Hanya ada sekitar 77 anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut, sedangkan 204 anggota meminta izin tidak hadir. Dalam rapat, Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto mengungkapkan total 281 anggota dewan menghadiri rapat paripurna.
Selanjutnya, DPR akan membahas ini bersama pemerintah untuk segera disahkan. Meski, UU ini mendapatkan penolakan sejak 2017 karena sejumlah pasalnya dianggap melemahkan KPK.
Anggota Komisi III Taufiqul Hadi mengatakan, wacana revisi UU KPK ini muncul sejak lima tahun lalu. Revisi ini juga bukan hal yang baru dan muncul dadakan. Karenanya, upaya ini tidak perlu ditakutkan.
Politikus Partai NasDem ini berharap revisi UU tersebut bisa selesai di akhir masa kerja anggota parlemen periode 2019-2024. Dengan begitu, calon pimpinan KPK yang akan diseleksi DPR pekan depan, bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan revisi UU ini.
"Kami berharap itu selesai di dalam masa periode (akhir) ini. Dengan demikian nanti pimpinan KPK yang baru itu, dia berada di dalam wewenang UU yang baru," tuturnya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Dia menambahkan, saat fit and proper test nanti, pimpinan KPK akan ditanya soal materi revisi ini. Tujuannya, untuk mengetahui semangat pemberantasan korupsi dengan kesesuaian materi revisi UU ini.
"Kami melihat cocok enggak. Kalau emang cocok dengan UU yang baru, mungkin itulah yang akan kami pilih. Bukan setuju, tetapi dia ada prespketif sejalan," jelasnya.
Rapat Paripurna pengesahan RUU KPK jadi inisiatif DPR (Mery/era.id)
Sementara itu, anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, tidak perlu waktu lama untuk membedah revisi UU ini. Sebab, RUU ini masuk di long list Program Legislasi Nasional 2015-2019.
Kemudian, sambungnya, pokok revisinya juga sudah sering diulas. Sehingga, jika semua yang terlibat dalam pembahasan revisi ini memiliki latar belakang dan subtansi yang sama, maka prosesnya akan lebih cepat.
"Bila dilakukan secata cepat, bisa diselesaikan pada Masa Sidang I 2019/2020 ini yang akan berakhir 30 September 2019,” jelasnya.
Hendrawan menambahkan, alur proses pembahasan ini bisa dilakukan dengan cepat. Setelah RUU ini disahkan jadi inisiatif DPR, hari ini, selanjutnya parlemen akan mengirimnya ke Presiden Joko Widodo untuk direspons dalam bentuk dikeluarkannya Surpres beserta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
"Setelah itu masuk Bamus (Badan Musyawarah) untuk ditugaskan ke Komisi, Baleg atau Pansus. Baru kemudian dilakukan Pembahasan Tingkat I di Panja/Pansus," ucapnya.
Setelah selesai di Tingkat I, hasilnya dibawa ke Rapat Paripurna untuk dibahas di Tingkat II dan disahkan.
Menariknya, RUU ini sempat dihapus dalam Prolegnas Prioritas 2019, meski tidak hilang dari polegnas jangka menengah 2015-2019.
Kemudian, ketika melihat dokumen evaluasi penanganan RUU Prolegnas Prioritas pada 1 Agustus 2019, RUU ini tidak ada. Begitu juga dalam keputusan rapat pimpinan Baleg per 19 Agustus 2019, RUU ini juga tidak ada. Namun, hari ini, RUU tersebut disetujui menjadi usul inisiatif DPR.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengkritisi sejumlah pasal yang dianggapnya bermasalah. Dia menilai draf revisi yang beredar, terkesan ditulis tergesa-gesa. Salah satunya soal Pasal 37 E yang mengatur Dewan Pengawas.
Kurnia menjelaskan, pada angka 8 tertulis bahwa 'Panitia Seleksi' menentukan nama calon 'Pimpinan' yang akan disampaikan kepada Presiden. Padahal pada bagian ini sedang membahas 'Dewan Pengawas', bukan 'Pimpinan'.
"Keseluruhan poin itu menggambarkan bahwa DPR secara serampangan menginisasi adanya Revisi UU KPK. Untuk itu maka Indonesia Corruption Watch menuntut agar Presiden Jokowi untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK," tutur Kurnia.
Gedung KPK (Wardhany/era.id)
Ketua KPK Agus Rahardjo menganggap revisi ini membuat KPK berada diujung tanduk. Ditambah, DPR juga sedang menggarap Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang juga dia anggap dapat melemahkan lembaga antirasuah itu.
"KPK perlu menyampaikan sikap menolak revisi Undang Undang KPK. Karena kami tidak membutuhkan revisi undang-undang untuk menjalankan pemberantasan korupsi. Apalagi jika mencermati materi muatan RUU KPK yang beredar, justru rentan melumpuhkan fungsi-fungsi KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi," jelasnya.
Dia menambahkan, RUU ini tidak akan jadi Undang-Undang bila Presiden menolaknya. Kareananya, KPK mempercayakan itu kepada Presiden Jokowi yang janji tidak akan ada upaya pelemahan KPK.
"KPK berharap presiden dapat membahas terlebih dulu bersama akademisi, masyarakat dan lembaga terkait untuk memutuskan perlu atau tidaknya merevisi Undang-Undang KPK dan KUHP tersebut," tuturnya.
Menurut Agus, dari draf revisi UU KPK yang beredar, terdapat sembilan hal yang berisiko melemahkan KPK. Yaitu, independensi KPK terancam; penyadapan dipersulit dan dibatasi; pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; sumber penyelidik dan penyidik dibatasi; penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria: kewenangan pengambilalihan perkara dipenututan dipangkas; kewenangan strategis pada proses dan proses penuntutan dihilangkan; terakhir kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Sementara, Presiden Joko Widodo mengaku belum mengetahui isi rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR RI.
"Itu inisiatif DPR, saya belum tahu isinya, yang jelas KPK saat ini bekerja dengan baik. Saya belum tahu, jadi saya belum bisa sampaikan apa-apa," kata Jokowi di Pontianak.
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @Jokowi)