KPK yang di Ujung Tanduk, Melawan Revisi Undang-undang
Merasa 'kejutan' ini bisa melemahkan kinerja mereka, KPK lantas angkat bicara. Ketua KPK Agus Rahardjo didampingi Wakilnya, Saut Situmorang langsung menanggapi revisi undang-undang itu. Dia bahkan menyebut, disetujuinya revisi ini membuat KPK berada di ujung tanduk.
"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk. Bukan tanpa sebab, semua kejadian dan agenda yang terjadi kurun belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi sesungguhnya ini," kata Agus dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (5/9).
Agus bilang, dari revisi tersebut ada sembilan persoalan yang berisiko melumpuhkan kinerja KPK. Adapun sembilan poin tersebut yaitu: terancamnya independensi KPK, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR, dan sumber penyelidik dan penyidik dibatasi.
Selain itu penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, serta kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Selain revisi Undang-Undang KPK, menurut Agus, DPR kini juga tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari tindak pidana korupsi, sehingga ini bisa mengancam lembaga tersebut.
"KPK menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Akan tetapi, KPK meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK," tegas Agus.
Dia menilai, alih-alih melemahkan KPK, harusnya DPR justru memperkuat upaya pemberantasan korupsi supaya kinerja lembaga ini makin efektif dalam melakukan pekerjaannya. Apalagi, sejak tahun 2003 KPK telah menangani 1064 perkara dengan tersangka dari berbagai macam latar belakang.
Sehingga ke depan, KPK berharap Presiden Joko Widodo menolak usulan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. "KPK juga menyadari RUU KPK inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin dapat menjadi undang-undang jika Presiden menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut. Karena undang-undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden," ungkapnya.
"KPK percaya Presiden akan tetap konsisten dengan pernyataan yang pernah disampaikan bahwa Presiden tidak akan melemahkan KPK," imbuh Ketua KPK periode 2015-2019 ini.
Sebagai tindaklanjut dari penolakan tersebut, lembaga yang ditakuti koruptor ini rencananya bakal mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi. Surat ini, kata Agus, bakal dikirimkan pada Jumat (6/9) pagi. "Mohon betul agar suara itu juga didengar. Saya pikir lebih arif kalau itu dilakukan," ujarnya.
Surat ini nantinya juga kata Agus bakal berisi soal capim KPK. Karena, di antara 10 capim KPK yang saat ini sudah diserahkan Jokowi ke DPR yang bermasalah.
"Di dalam surat itu bisa saja kami juga akan memasukkan mengenai Presiden kelihatannya sudah mengirimkan 10 calon (pimpinan KPK) ke DPR tapi kami sudah menginfokan memberi catatan mengenai data yang ada di KPK, dokumen yang ada di KPK mengenai hal tersebut (capim) jadi mungkin gitu langkah yang bisa kami lakukan."
Ilustrasi KPK yang terjeruji (era.id)
Permintaan agar Presiden Jokowi menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang KPK ini juga disuarakan Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, serangan terhadap KPK kini dilakukan lewat ranah legislasi.
"Presiden untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK. DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ungkap Kurnia.
Tak hanya minta Jokowi menghentikan bahasan revisi itu, ICW juga menilai revisi ini disusun secara serampangan oleh DPR. "Keseluruhan poin itu (revisi UU KPK) menggambarkan bahwa DPR secara serampangan menginisiasi adanya Revisi UU KPK," kata dia.
Walaupun KPK menyebut bakal mengirim surat dan ICW juga mengusulkan agar Presiden Jokowi menghentikan pembahasan revisi undang-undang itu, ternyata mantan Gubernur DKI Jakarta itu justru belum tahu soal revisi tersebut. Sebabnya, revisi itu adalah usul DPR dan ia tak tahu poin apa saja yang diusulkan untuk direvisi.
"Itu inisiatif DPR. Saya belum tahu isinya," katanya saat melakukan kunjungan kerja di Pontianak, Kamis (5/9).
Menurut dia, lembaga antirasuah itu telah bekerja baik tapi dia belum bisa berkomentar lebih jauh soal revisi undang-undang tersebut. "Saya belum tahu, jadi saya belum bisa berkomentar apa-apa," tutupnya.