Anggota Dewan yang Bisa Juga Kebut Sahkan UU

"Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untukmu yang biasa bersafari, di sana di gedung DPR...Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu setuju..."

Jakarta, era.id - Lagu Surat Buat Wakil Rakyat dari Iwan Fals masih relevan mewakili perasaan 269 juta jiwa rakyat Indonesia hari ini. Perasaan itu belum berubah, kendati lagu tersebut sudah berumur 37 tahun --ditulis tahun 1987. Anggota Dewan kita memang tak sedikit tertangkap kamera sedang tidur. Ada yang ketangkap karena korupsi, hobi jalan-jalan ke luar negeri, menuntut fasilitas mewah, sampai ketahuan nonton video bokep. Semuanya bikin citra buruk masih betah menempel pada diri sang wakil rakyat.

Melihat kerjaannya, banyak prolegnas yang masih terkatung-katung di kaki langit. Selama ini DPR memang terkesan malas dalam menggarap sejumlah RUU, seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah masuk Prolegs sejak 2016, RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN-PN), dan RUU KUHP baru masih tersimpan rapi di peti es. 

Meski telah lama menjadi pembahasan bersama, nyatanya rancangan undang-undang di atas masih belum juga disahkan. Berbeda dengan RUU inisiatif KPK oleh DPR. Ini menjadi bukti bahwa jika anggota DPR niat, pengerjaan yang katanya sulit pun bisa diatasi.

Ibarat anak emas, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini terus digenjot oleh para anggota dewan hanya dalam waktu 12 hari. Cuma enam hari pula untuk Presiden Jokowi menandatangani surat presiden, termasuk pembahasan bersama pemerintah hingga pengesahannya. 

Bagai proyek dayang sumbing, revisi UU KPK ini dapat diwujudkan hanya dalam waktu semalam saja. Hal itu ditunjukkan dengan kekompakkan 289 anggota DPR yang setuju pengesahan RUU KPK dalam Rapat Paripurna. Sedangkan, untuk menghadiri sidang dengan agenda lain, banyak anggota DPR yang tidak hadir. 

Pengesahan RUU KPK (Mery/era.id)

Kritik keras dari segala arah tak menghentikan DPR merevisi undang-undang tersebut. Suara rakyat kembali diabaikan. Pengesahan revisi ini jelas membuat KPK sakaratulmaut karena melemahkan institusi yang sudah berdiri sejak 17 tahun lalu. Kesedihan dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Nyawa dari sebuah lembaga yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi kini telah dicabut oleh para politikus.

Kendati demikian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membantah pembahasan ini terkesan buru-buru. Menurutnya, pembahasan ini cepat selesai karena sudah dibahas sejak lama.

"Jadi begini it is a long way to go. Bukan (buru-buru) ini draf mulai tahun 2012, bahas-bahas 2015, 2017 sosialisasi. Mereka bawa ke kampus-kampus dan ini kan pemegang kekuasan pembentuk UU adalah DPR bersama pemerintah dan ini draf sangat lama," katanya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).

Beberapa poin revisi UU KPK yang menjadi polemik dan perdebatan di publik, pertama status kelembagaan KPK yang merupakan rumpun eksekutif dalam pelaksaan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi bersifat independen yang bebas dari penguasa dan kekuasaan. Revisi ini berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan ataupun swasta. 

Kedua, terkait dengan kewenangan KPK dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ketiga, dibentuknya Dewan Pengawas (Dewas KPK) yang mekanisme penyaringannya akan dilakukan oleh Pansel yang dibentuk pleh Presiden. 

Keempat, terkait dengan penyadapan yang dilakukan KPK atas ijin Dewan Pengawas yang paling lambat diberikan 1x24 jam. Dan yang terakhir, status pegawai KPK yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pengangkatannya diatur oleh UU.

Tak cukup rupanya DPR main-main dengan revisi UU KPK. Kini DPR dan pemerintah sepakat untuk segera mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan (UU Permasayarakatan).

Salah satu poin yang disepakati terkait dengan pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar bisa, salah satunya kasus korupsi. Ini semakin menunjukkan niat para anggota dewan dalam pelemahan gerakan antikorupsi di Indonesia.

Tag: kpk ketua dpr