Puluhan Difabel Netra Terusir Dari Panti Sosial Wyata Guna
Karena perubahan status tersebut, tidak ada lagi siswa di Wyata Guna yang menempati asrama. Menurut salah satu penghuni asrama Wyata Guna, Aris, pengosongan paksa itu terjadi sejak 9 Februari 2020.
“Finallynya itu tanggal 14 kemarin, anak-anak tidak bisa mempertahankan karena barang-barangnya dikeluarkan dengan paksa dan banyak memanfaatkan ketunanetraan kawan-kawan gitu. Begitu dikeluarin karena banyak barang pribadi, mereka berusaha menyelamatkan dulu barang-barang pribadinya. Karena kalau enggak, itu akan diambil oleh pihak bala disatukan jadi nantinya takutnya tercecer ada barang-barang penting,” kata Aris di Jalan Pajajaran, Bandung, Rabu (15/1/2020).
Aris mengatakan setelah barang-barang milik difabel netra penghuni Wyata Guna tersebut terkumpul, seluruhnya dititipkan ke warga setempat dan mencari tumpangan kendaraan untuk mencari tempat tinggal sementara. Usai seluruh barang-barang yang dikeluarkan paksa dari asrama Wyata Guna terselamatkan, pukul 19.00 WIB kemarin (14/01/2020) berkumpul kembali di trotoar jalan depan gedung balai.
Tujuannya lanjut Aris, sebagai solidaritas terhadap rekan difabel netra lainnya yang belum memperoleh tumpangan dan tempat tinggal sementara. Karena belum memperoleh tempat tinggal, mereka memutuskan untuk menginap.
“Kita belum memastikan akan ikut (lokasi penampungan) ke Wakil Gubernur atau Wali Kota, karena solusi-solusi mereka hanya seperti angin surga bagi kami. Perlu ditelaah lebih lanjut karena masih banyak yang harus diperhatikan soal tempat tinggal kawan-kawan netra nanti. Baik itu sementara maupun selamanya, serta juga nilai dari Wyata Guna ini sendiri,” ujar Aris.
Aris menganggap Wyata Guna memiliki nilai sejarah yang tinggi dari tahun 1901 sampai sekarang, serta aksesibilitas yang sudah memadai. Alasan lainnya adalah, difabel netra juga masih mempertanyakan kepemilikan sertifikat lahan Wyata Guna yang merupakan tanah hibah yang kini diklaim oleh pemerintah.
Atas dasar itulah, Aris dan difabel netra lainnya menolak untuk keluar dari asrama Wyata Guna. Pengosongan paksa yang dilakukan pengelola Wyata Guna dituding tidak manusiawi, karena telah dilakukan kesepakatan sebelumnya bahwa jangka waktu pengosongan asrama selama satu bulan.
Ada Penerima Manfaat Baru
Sementara itu, Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) menyanggah adanya pengosongan paksa asrama tempat tinggal 41 difabel netra, yang kini mengungsi di trotoar Jalan Pajajaran Bandung. Pengosongan itu dilakukan karena berubahnya status Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN).
Menurut Kepala BRSPDSN Wyata Guna Bandung, Sudarsono, setelah berubahnya status dari panti menjadi balai terdapat beberapa fasilitas pemerintah yang jangka waktunya harus berakhir (terminasi) kepada difabel netra. Sehingga jelas Sudarsono penerima manfaat baru dan penerima rehabilitasi sosial.
“Kami sudah terminasi di 27 Juni 2019, kami akhiri semua yang 130 (penerima manfaat panti sebelumnya). Dari 130 yang 65 resos (rehabilitasi sosial) tidak ada masalah. Mereka pulang kembali ke keluarganya, kami berikan bantuan sesuai dengan apa yang mereka dapatkan pelatihan disini. Sisa yang 65, yang ini tidak mau keluar. Yang sesungguhnya ini harusnya keluar karena kami harus merekrut yang baru, untuk mengisi sisa 45 itu,” kata Sudarsono.
Sudarsono mengatakan sebelumnya, Wyata Guna telah melakukan pendataan bagi penerima manfaat. Hasilnya sebut Sudarsono, pada tahun 2019 terdata 175 orang di Wyata Guna, diantaranya 65 orang yang sedang menjalani pendidikan SD, SMP, SMA dan kuliah.
Pada semester pertama di tahun 2019, penerima manfaat dari Wyata Guna ditargetkan 130 orang. Terdiri dari 65 penerima manfaat rehabilitasi sosial dan 65 penerima manfaat pendidikan selama enam bulan yang awalnya dua tahun saat berstatus panti.
“Kami telah disosialisasikan kepada seluruh orang tua siswa pada tahun 2019. Karena perubahan status menjadi balai itu dimulai 2019. Alhamdulillah orang tua siswa yang ikut rehabilitasi sosial datang semuanya. Tetapi orang tua anak yang ikut pendidikan tidak hadir. Sebabnya mereka tidak menerima perubahan dari panti menjadi balai karena mereka tahu layanannya menjadi enam bulan dan seterusnya,” sebut Sudarsono.