Ada Rasa Toleransi dalam Seni di Festival Cap Golak
Seni Barongsai seolah menjadi utusan kebudayaan Tionghoa, sementara Seni Bangbarongan khas dari Cibiru perwakilan dari budaya Sunda, tampil menghibur saling mengisi dan mewarnai. Tidak tertinggal pakaian tradisi ala Tionghoa dan Sunda hadir bagaikan pelangi di pagi hari yang indah.
Festival yang diselenggarakan kelima kalinya ini memang dalam rangka menyambut hari raya Cap Go Meh, yang diplesetkan menjadi Cap Golak di sana. Golak sendiri menurut penggagas gelaran tersebut, Abah Enjoem, yaitu mengambil terminologi dari bahasa Sunda yang berarti bergemuruh atau menggelora.
"Itu merupakan representasi dari ramainya irama musik dari seni Barongsai dan Bangbarongan yang juga menampilkan seni Reak" kata Enjoem.
Memang ketika menghadiri acara tersebut alat musik seolah tidak berhenti dengan irama yang hampir sama, silih berganti mengisi kekosongan waktu seolah tidak ingin melihat pengunjung acara hanya berdiam diri. Musik memaksa mereka semua untuk terus menari mengikuti irama.
Sementara kata bauran dari judul besar 'Festival Bauran Cap Golak' ini memiliki arti berbaur atau Campur.
Festival Budaya Cap Golak kelima (Dok. Agus Hadiana)
Percampuran ini bukan hanya sebatas antara budaya Tionghoa dan Sunda semata, melainkan melibatkan pula masyarakat, seniman, dan pemerintah. Sehingga terjadinya sinergi bersama dan adanya sikap saling menghargai dalam keberagaman.
"Mengapa dibaurkan atau dibudayakan kembali? Seni tradisi di tanah air tercinta ini banyak yang diambang kepunahan. Minimal dengan adanya acara ini masyarakat terutama anak muda mau melirik kembali tradisi sebagai identitas bangsa. Sekaligus dengan kegiatan ini kita diajak untuk saling menghormati perbedaan budaya, etnis maupun agama" terang Enjoem.
Terlepas dari ucapan Abah Enjoem sebagai penggagas acara, kegiatan ini memang mampu memperlihatkan kebersamaan dan kebahagiaan masyarakat. Tidak tertinggal sejumlah siswa berkebutuhan khusus ikut tampil membuat batik.
Para pedagang menjajakan penganan dan kerajinan buatan mereka sendiri. Di sebuah daerah kecil tepatnya di Kampung Jati Kelurahan Pasirbiru, Kecamatan Cibiru Kota Bandung, toleransi dan akulturasi kebudayaan hadir mewarnai kehidupan masyarakat.