Rapid Test Impor VS Buatan Dalam Negeri
Kementerian perdagangan pun membuka pintu lebih lebar bagi impor alat kesehatan termasuk
rapid test. Permasalahannya, pengadaan rapid test tak selalu 'mulus'. Sebab Indonesia masih
mengimpor rapid test tersebut. Perusahaan farmasi pelat merah seperti PT. Kimia Farma Tbk
(KAEF) saja harus mengalami sejumlah kendala.
Kimia Farma semula mengimpor alat rapid test COVID-19 Biozek dari perusahaan Belanda. Rapid
test Biozek diimpor dari Inzek Internationl Trading BV Belanda. Belakangan, Organized Crime and Corruption Reporting Project bersama sejumlah media lintas negara menemukan hal
mengejutkan.
Ternyata rapid test Biozek tak dibuat di Belanda, tapi China. Belanda hanya mengklaim merek
rapid test tersebut. Belum lagi muncul temuan tingkat keakuratan Biozek yang rendah. Akibat
hal ini, melalui siaran persnya, Kimia Farma mengumumkan telah menghentikan sementara
distribusi alat rapid test Biozek pada 14 Mei 2020.
"Kimia Farma telah melakukan langkah-langkah yakni meminta kepda Inzek International
Trading BV Belanda atas pemberitaan tersebut dan melakukan penghentian sementara distribusi
rapid test sambil menunggu hasil klarifikasi dari produsen," dikutip dari manajemen Kimia
Farma dalam siaran persnya.
Infografik (Ilham/era.id)
Kabar baiknya, BPPT akan meluncurkan rapid diagnostic test (RDT) buatannya sendiri. Mereka memiliki RDT berbasis antibodi dan antigen. Melalui siaran persnya, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengklaim RDT buatan anak bangsa ini lebih sensitif dibandingkan test kit impor. Sebab saat pembuatannya mereka menggunakan
strain virus dari orang Indonesia.
"Saat ini progres pengembangan kedu tipe RDT kit masih dalam tahap desain dan akan duji
validasi dengan menggunakan isolat RNA, yang dimiliki Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kemenkes dan juga LBM Eijkman," kata Hammam dalam siaran persnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melkiades Laka Lena berkomentar terkait pengadaan rapid test yang masih impor dengan akurasi rendah. Menurutnya, rapid test dengan
akurasi yang baik sesuai rekomendasi Kementerian kesehatan.
"PCR atau TCM yang lebih akurat dibanding rapid test. Kita masih butuh waktu, jikalau alat
PCR dan TCM sudah tersedia dengan jumlah cukup di seantero negeri maka penggunaan rapid
test pelan pelan dikurangi bahkan disetop," kata Melki saat dihubungi era.id, Senin
(6/7/2020).
Ia menambahkan selama PCR belum tersedia dalam jumlah cukup di penjuru nusantara,
penggunaan rapid test yang mempunyai akurasi baik sesuai rekomendasi Kemenkes tetap bisa
dilakukan dalam kondisi New Normal saat ini.
"Sehingga pencegahan dan tracing bisa dilakukan secara pararel dengan penggunaan PCR atau
TCM saat ini yang terus ditingkatkan pemerintah," kata Melki.
Adapun rapid test, ia melanjutkan harus sesuai rekomendasi Kemenkes dan diberi batas harga
maksimal oleh pemerintah. Harga harus diatur wajar dan tidak memberatkan masyarakat.
"Apalagi ada rapid test dan PCR produksi dalam negeri yang sesuai lolos rekomendasi
Kemenkes harganya jauh lebih murah harus diprioritaskan untuk dipakai secara massal dan
masif di seluruh Indonesia dalam pengendalian COVID-19 di tanah air," kata Melki.