Derita Imigran Pemetik Strawberry di Spanyol

ERA.id - Sekitar 17.000 imigran pemetik strawberry asal Maroko sempat terkatung-katung di pinggir perkebunan Spanyol. Kontrak kerja mereka diputus sepihak oleh perusahaan, tapi penutupan batas negara membuat mereka tak bisa kembali ke negara asalnya.

Perkebunan di Huelva, Spanyol, sudah menanti para pekerja musiman asal Spanyol. Namun, hanya 7.200 orang temporeras, atau pekerja musiman, saja yang muncul. Maroko telah menutup batas negaranya sejak 13 Maret akibat pandemi korona, dan beberapa pekerja tersebut belum sempat sampai ke Spanyol.

Namun, akhirnya, hidup ribuan orang yang bisa bekerja itu malah terbengkalai di Spanyol, karena negara tersebut menolak merepatriasi para pekerja setelah kontrak kerja mereka habis.

"Mereka kehabisan uang dan menjadi semakin rentan," kata Jose Maria Castellon, seorang anggota kelompok advokasi HAM APDHA, kepada DW.

Kelompok advokasi HAM di Spanyol menyebut kondisi ini sebagai "krisis kemanusiaan." Hanya ratusan wanita saja yang akhirnya direpatriasi, karena mereka sakit atau hendak melahirkan. Namun, banyak juga perempuan yang melahirkan saat masih dilindungi kontrak kerja. Seorang bidan yang membantu proses persalinan para perempuan tersebut berkata kepada DW bahwa "para perempuan ini sendirian dan tak kesulitan berkomunikasi."

Saat ini, para pekerja imigran Maroko bergantung pada bantuan para tetangga dan dan dari LSM setempat. Mereka sudah tidak punya cukup uang membeli kebutuhan dapur, apalagi mengirim sejumlah uang ke keluarga mereka di rumah.

Situasi ini membuka tabir kondisi industri perkebunan di Eropa. Para pemetik buah biasa datang dari Maroko, Polandia, Romania, dan Bulgaria, serta negara-negara sub-Sahara. Mereka tinggal sepanjang tahun di kota kecil di dekat perkebunan. Seorang utusan tim Rapporteur on Extreme Povery and Human Rights dari PBB pernah datang ke pemukiman tersebut dan mengatakan, "Mereka hidup seperti binatang. Kondisi mereka termasuk yang paling menyedihkan di dunia."

Tempat tinggal para pekerja migran tersebut sangat tidak layak. Ruangannya tidak memiliki ventilasi, toilet, atau air yang mengalir. Berjaga jarak selama pandemi COVID-19 adalah hal yang langka, meskipun sampai saat ini belum ada pekerja migran asal Maroko yang positif terinfeksi virus korona.

Akhirnya, setelah berminggu-minggu saling menutup diri, pada Rabu lalu (15/7), pemerintah Spanyol dan Maroko mengumumkan kesepakatan untuk merepatriasi para pekerja musiman.

"Jika mereka adalah pelmain sepak bola profesional, mereka akan langsung diantar pulang ke negara asalnya. Namun, mereka hanyalah perempuan miskin," kata Alicia Navascues, seorang aktivis HAM, kepada DW.

Pengabaian pemerintah Maroko telah mengusik para pemilik bisnis di Spanyol yang berpikir bahwa negara tetangganya tersebut bukan lagi partner bisnis yang bisa dipercaya. Dan banyak pemilik bisnis di Spanyol yang berkeinginan untuk mengontrak pekerja migran dari negara Eropa atau Non-Eropa lainnya.

Interfresa, sebuah asosiasi bisnis strawberry di Spanyol, menyatakan "tidak ingin meninggalkan Maroko, namun, kami juga akan merekrut dari negara lain." Namun, mereka sadar bahwa hal itu mengharuskan pemerintah Spanyol untuk menandatangani sebuah perjanjian internasional. Saat ini para petani strawberry berharap mereka bisa merekrut pekerja dari negara-negara di Eropa Timur.

Perekrutan dan perlakuan terhadap pekerja wanita asal Maroko juga membuka tabir "perbudakan modern", seperti dikatakan Alicia Navascues dari Spanyol. Ia tidak heran jika penduduk lokal tidak berniat bekerja di pertanian yang kondisinya sangat tidak layak.

"Model eksploitasi semacam ini tak akan berfungsi, apalagi bagi kaum perempuan ini," tutupnya.