Jenazah Pasien COVID-19 Muslim di Indonesia Dimakamkan Sesuai Syariat
ERA.id - Penyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) soal teori terbaik jenazah COVID-19 untuk dibakar, dikutip tak utuh dan menuai polemik. Tito pun sudah mengklarifikasi pernyataannya.
"Kesempatan ini saya mau mengkarifikasi berita yang menurut saya dipotong saat acara webinar FKUB pada Rabu (22/7) secara nasional," kata Mendagri Tito Karnavian usai shalat Jumat di Masjid Taya Al Fatah Ambon, Jumat (24/7/2020).
Webinar FKUB terkait COVID-19 dan penanganannya. Dalam diskusi saat itu salah satu yang disampaikan terkait penanganan jenazah COVID-19.
"Saya sampaikan jenazah COVID-19 secara teori seyogyanya dibakar agar virusnya juga mati. Tetapi belum tentu sesuai dengan akidah atau keyakinan agama tertentu, seperti saya seorang Muslim," katanya.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu mengeluarkan Fatwa Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah Muslim yang Terinfeksi COVID-19.
Fatwa tersebut mengatur beberapa hal, salah satunya proses pengurusan jenazah yang sesuai protokol kesehatan mulai tahap pemandian jenazah, pengkafanan, penyolatan hingga penguburan.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh menekankan, pengurusan jenazah korban COVID-19 dipastikan memenuhi syariat islam.
"Yang pasti (pengurusan jenazah) memenuhi syariat namun harus tetap memenuhi protokol kesehatan untuk tidak mempunyai potensi penularan diri sendiri dan orang lain," ucap Asrorun saat dialog melalui ruang digital di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Kamis (25/6).
Ia menambahkan tahapan dalam protokol kesehatan pengurusan jenazah yang tercantum dalam fatwa tersebut antara lain.
Tahapan memandikan jenazah korban COVID-19, bisa dimandikan tanpa harus melepaskan pakaian, saat kondisi normal pun tidak harus untuk melepas pakaiannya, kuncinya adalah membersihkan najis yang terdapat dalam tubuhnya. Yang memandikan diupayakan sesuai dengan jenis kelamin jenazah, namun jika tidak memungkinkan maka tetap dimandikan tanpa harus melepas pakaiannya.
Berikutnya tahap pengkafanan setelah dimandikan dan disucikan, pengkafanan cukup 1 helai dan dimungkinkan ditutup menggunakan plastik dan dimasukan kedalam peti untuk mencegah potensi penularan.
Kemudian penyolatan cukup diwakilkan oleh orang muslim di rumah sakit, di mushola terdekat atau di pemakaman, artinya dimana pelaksanaan shalat sangat fleksibel.
Terakhir pemakaman tetap dilakukan seperti biasa, petugasnya penting untuk mencegah potensi penularan dengan menggunakan alat pelindung diri.
Lebih lanjut Asrorun mengungkapkan, MUI memiliki perhatian sangat tinggi untuk penanggulangan COVID-19 ini dengan mengajak para ahli dalam merumuskan kebijakan.
"MUI memiliki concern sangat tingggi terkait ikhtiar penanganan, pencegahan dan penanggulangan wabah COVID-19 dengan mengundang berbagai pakar dari BNPB, Kemenkes dan guru besar UI untuk melakukan pengkajian dan memperoleh informasi terkait COVID, " ungkapnya.
Tak lupa ia mengimbau kepada masyarakat, untuk selalu melakukan ikhtiar dalam mencegah dan menjaga diri dari bahaya, serta mengutamakan kepentingan orang lain.
"Kewajiban pertama untuk ikhtiar mencegah dan memastikan pemulasaran sesuai ketentuan syariah dan menjaga diri dari bahaya. kemudian ketika ada benturan antara memenuhi syariah dan keselamatan jiwa , maka kepentingan orang yang hidup didahulukan daripada yang wafat, namun saat ini kita bisa memenuhi antara hak jenazah dan hak orang yang masih hidup, " pungkasnya.
Perlu diketahui, merujuk pada Fatwa MUI tersebut, umat islam yang meninggal akibat COVID-19 dihukumi mati syahid, yaitu syahid akhirat yang berarti muslim yang meninggal dunia karena kondisi tertentu (antara lain karena wabah [tha’un], tenggelam, terbakar, dan melahirkan), yang secara syar’i dihukumi dan mendapat pahala syahid (dosanya diampuni dan dimasukkan ke surga tanpa hisab).