'Perang' Vaksin COVID-19: Mata-Mata China, Rusia, dan AS Saling Intai
ERA.id - Dalam masa mencari penawar virus COVID-19, tak hanya kaum peneliti medis berjas putih saja yang sibuk di laboratorium. Agen mata-mata dari berbagai negara, yang notabene mereplikasi blok-blok semasa Perang Dingin, juga sibuk mengintai riset vaksin COVID-19. Dan bila perlu, mencurinya.
Baru-baru ini, seperti dilansir koran the New York Times, peretas China berusaha menyusup ke jaringan komputer Departemen Epidemiologi dari University of North Carolina, yang merupakan salah satu pusat riset vaksin COVID-19 di AS.
Aksi peretasan China ini, yang sudah terdeteksi sejak Februari lalu, kabarnya dilandasi oleh data yang peretas peroleh dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Banyak pihak beranggapan bahwa informasi WHO dipakai dalam menetapkan target, yaitu berdasarkan riset vaksin mana yang kira-kira mendapat lampu hijau lebih dulu dari sang badan PBB.
Sejauh ini, pejabat AS mengetahui bahwa mata-mata asing telah berhasil mencomot sedikit informasi dari riset mutakhir milik Gilead Sciences, Novavax, dan Moderna.
China sendiri bukannya nihil riset vaksin COVID-19. Perusahaan farmasi SinoPharm yang berpusat di China ini memiliki satu kandidat vaksin yang menjanjikan, meski masih memakai teknik lama bernama 'inaktivasi sel'. Bila dibandingkan dengan riset-riset di Amerika Serikat dan Eropa, riset di China kurang eksperimental dan mutakhir, meskipun sudah teruji berhasil di sejumlah produk vaksin, misalnya vaksin polio atau difteri.
Namun, kemutakhiran tetaplah sebuah peluang.
"Justru akan mengagetkan kalau mereka (China) tidak berusaha mencuri hasil riset biomedis paling berharga yang sedang berlangsung saat ini," kata John C. Denners, kepala Departemen Pengadilan Amerika Serikat, dalam sebuah diskusi bidang keamanan strategis bulan lalu.
"Hasil riset itu memiliki nilai finansial dan juga tak bernilai harganya secara geopolitik."
Pihak keamanan nasional AS merespon upaya peretasan China dengan meningkatkan pengawasan mereka pada gerak-gerik para hacker. Asisten Direktur Departemen Keamanan Negara Bryan Ware, seperti dikutip the New York Times, mendapati bahwa para peretas lebih menyasar celah-celah keamanan dalam jaringan komputer di AS. Oleh karena itu, para pakar keamanan 'berlomba' agar bisa menemukan celah tersebut sebelum para hacker memanfaatkannya.
Peretas dan mata-mata China sebenarnya tak sendirian dalam menintai negara saingan. Agen intelijen Rusia, SVR, ternyata juga memata-matai sejumlah proyek riset vaksin di AS, Kanada dan Inggris. Hal ini justru pertama kali diketahui oleh firma intelijen Inggris, GCHQ, yang sedang melakukan operasi intelijen terhadap proyek pemasangan kabel optik internasional.
Akibatnya, seperti dikatakan oleh sumber koran The Straits Times, saat ini sejumlah negara saling beradu, tidak secara langsung, melainkan di belakang layar dan melibatkan agen intelijen masing-masing. Hal ini mengingatkan kita pada era Perang Dingin (1947-1991) ketika AS dan Rusia bergantung pada mata-mata mereka untuk mencari tahu siapa yang terdepan dalam perlombaan menuju luar angkasa.
Bedanya sekarang, perlombaan berada pada isu siapa negara yang pertama membebaskan dunia dari cengkeraman pandemi COVID-19, yang pada Selasa (8/9/2020) telah menewaskan lebih dari 890 ribu nyawa.