ERA.id - Pemerintah federal Amerika Serikat meminta 50 negara bagian dan teritorinya untuk membuat rencana distribusi vaksin COVID-19 mulai tanggal 1 November. Banyak pihak bingung, pasalnya hingga saat ini belum ada kandidat vaksin di AS yang telah rampung uji klinis. Ditengarai otoritas AS bakal menggunakan wewenang masa darurat untuk mempercepat proses pengesahan vaksin, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar kesehatan.
Seperti dilansir Associated Press (2/9/2020), arahan itu datang dari surat yang ditandatangani Direktur Pusat Penanganan dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS Robert Redfield, tertanggal 27 Agustus. Ia meminta para gubernur negara bagian Amerika Serikat untuk membantu mempercepat proses perijinan dari McKesson Corp, pihak yang dikontrak CDC dalam hal distribusi vaksin.
"Dan [CDC] meminta Anda untuk menangguhkan sejumlah persyaratan yang bakal menghambat operasi (distribusi vaksin) ini untuk beroperasi pada 1 November 2020," tulis Redfield.
Ia mengatakan bahwa penangguhan apapun tidak akan menyebabkan turunnya keamanan dan efektivitas vaksin.
CDC, seperti dilaporkan Associated Press, juga mengirimkan tiga dokumen kepada otoritas kesehatan di tiap negara bagian mengenai kapan vaksin COVID-19 akan tersedia. Dokumen itu diharapkan membantu pihak otoritas untuk menjadwalkan imunisasi lebih awal. Salah satu dokumen memuat skenario bilamana vaksin telap siap tersedia pada akhir Oktober 2020.
Dokumen lain mengatakan bahwa vaksin COVID-19 dalam jumlah terbatas akan tersedia pada awal November. Namun, jumlah itu akan bertambah pada tahun 2021. Di situ juga disebutkan bahwa kandidat vaksin akan disahkan oleh Badan Obat dan Makanan (FDA), lewat wewenang masa gawat darurat yang diterima badan tersebut.
Para petinggi pemerintahan negara bagian saat ini diminta untuk memilih grup mana yang perlu diprioritaskan untuk diimunisasi lebih dulu, serta memilih siapa penyedia jasa yang akan membantu pelaksanaan imunisasi dan berbagai persiapan lainnya.
Hal ini sontak memicu pertanyaan dari pakar kesehatan AS karena sejumlah uji klinis final untuk vaksin COVID-19 di sana masih dalam tahap perekrutan relawan, dan bahkan bisa dibilang "belum setengah jalan", seperti dijelaskan Associated Press. Dengan imunisasi yang menggunakan dua dosis vaksin yang penyuntikannya dalam rentang 1 bulan, para pakar kesehatan tidak bisa membayangkan bagaimana uji klinis vaksin akan memperoleh data yang akurat dan cukup sebelum tanggal 1 November nanti.
"Mempersiapkan diri itu masih masuk akal. Namun, ini beda halnya dengan memotong uji klinis fase 3 sebelum Anda mendapat informasi yang Anda perlukan," kata Dr. Paul Offit, pakar imunisasi dari Childfren's Hospital of Philadelphia yang juga anggota komita penasihat vaksin FDA.
Peter Hotez, dekan Fakultas Pengobatan Tropis dari Baylor University mengaku "sangat khawatir" bahwa FDA akan menggunakan wewenang masa gawat darurat untuk menyetujui suatu produk vaksin sebelum benar-benar tahu apakah vaksin tersebut efektif dan aman.
"Ini lebih terlihat seperti aksi nekat daripada sebuah kehati-hatian otoritas kesehatan," kata Hotez.
Komisioner FDA Stephen Hahn sebelumnya dikabarkan pernah mengatakan bahwa institusinya tidak akan mengkompromikan hal-hal yang penting dalam proses pengesahan vaksin. Namun, ia juga berbicara pada koran the Financial Times pekan ini bahwa institusinya "mungkin perlu" menyetujui suatu produk vaksin sebelum uji klinisnya selesai, bila ditemukan bahwa manfaatnya lebih banyak daripada resiko yang ditimbulkan.
Michael Osterhol, pakar penyakit menular dari Universitas Minnesota, mengaku khawatir akan terjadi "suatu kejutan di bulan Oktober", yaitu ketika pengesahan vaksin dipercepat agar terjadi beberapa saat sebelum pemilihan presiden pada 3 November nanti.
"Komunitas kesehatan publik, seperti halnya siapapun juga, menginginkan vaksin yang aman dan efektif," kata Osterholm. "Namun, data yang digunakan harus jelas dan meyakinkan."
Pengesahan sebuah vaksin sebelum uji klinisnya selesai sebelumnya lalu telah terjadi di Rusia pada AGustus lalu, yaitu pada produk vaksin Sputnik V yang dikembangkan Gamaleya Institute. Seperti dilansir banyak media, (11/8/2020), saat itu Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa Sputnik V telah menjalani seluruh fase uji klinis yang diperlukan. Namun, data menyebutkan bahwa vaksin tersebut baru diujicobakan pada 76 orang, angka yang jauh lebih kecil dari jumlah wajar di mana pengujian dilakukan ke puluhan ribu relawan.