Faisal Basri: Jokowi Umumkan Tim Baru Tiap Minggu, Orangnya Itu-Itu Saja
ERA.id - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik cara Presiden Joko Widodo dalam menangani pandemi COVID-19. Dia menilai Jokowi tak punya terobosan apapun dalam menangani virus korona karena hanya fokus menangani masalah ekonomi.
Karenanya, Faisal tak heran jika Jokowi kerap membuat tim baru terkait penanganan COVID-19. Selain itu, menurutnya Jokowi tidak punya panglima yang bekerja penuh waktu menghadapi pandemi ini.
"Jadi wajar kalau tiap minggu Pak Jokowi ini mengumumkan tim baru. Ada tim percepatan vaksin, ada tim menangani delapan provinsi yang kasusnya tinggi. Tim melulu, orangnya itu-itu juga, tidak ada yang bekerja full time untuk menangani virus ini. Komandannya itu tidak kerja full time, nggak ada," ujar Faisal dalam diskusi daring dikutip Senin (21/9/2020).
Pada awal pandemi, pemerintah pusat membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dikomandoi Kepala BNPB Doni Monardo. Lantas, Jokowi membentuk kembali Komite Kebijakan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang diketuai Menteri BUMN Erick Thohir.
Gugus Tugas melebur dalam komite menjadi Satgas Penanganan COVID-19. Belakangan, Jokowi menugaskan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan memimpin penanganan COVID-19 di sembilan provinsi. Menurut Faisal, sebaiknya Jokowi menunjuk panglima perang melawan COVID-19 yang bisa bekerja secara penuh. Bukan malah mengganti-ganti tim dan kepalanya.
"Nah ini barangkali, mudah-mudah tergerak gitu hatinya, ayo virus ini bahaya ini, panglima perangnya harus full time. Tidak ngurusin yang lain-lain lagi, bukan kerja sambilan," kata dia.
Faisal menilai, banyak profesional yang bisa menjadi panglima menghadapi COVID-19. Para menteri Jokowi sebaiknya bekerja sesuai kapasitas di kabinet dengan membantu panglima perang ini. Indonesia butuh panglima yang bekerja penuh menghadapi COVID-19.
Dia mencontohkan saat penanganan tsunami Aceh lalu. Indonesia memiliki sosok Kuntoro Mangkusubroto yang mengomandoi Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi. Menurut Faisal seharusnya bisa menunjuk seseorang dengan kualifikasi serupa untuk agar memimpin secara penuh penanganan pandemi COVID-19.
"Mungkin bukan Pak Kuntoronya, tapi kualifikasinya seperti Pak Kuntoro yang dia full time, kerja 24 jam, yang barangkali tidurnya cuma 2 jam. Dan itu dipuji secara internasional kita paling berhasil menangani. Jadi kita itu punya pengalaman lho, walaupun lebih parah sekarang," katanya.
Tak hanya itu, Faisal juga menyoriti COVID-19 di Indonesia yang kalah dengan negara-negara berpendapatan rendah atau lower middle. Padahal menurutnya, pemerintah kerap mengklaim Indonesia masuk dalam golongan negara berpenghasilan menengah atas atau upper middle
"Kita ini mengklaim sudah menjadi naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas, keren kan, menengah atas. Namun kita lihat testing-nya cuma 10 ribu," ujar Faisal
Dia lantas membandingkan dengan negara Nepal yang pendapatan perkapitanya hanya seperempat dari Indonesia, tapi untuk testing bisa mencapai 30.932 per satu juta populasi. Sedangkan Indonesia hanya 10.527 per satu juta penduduk.
Selain Nepal, dia juga membandingkan jumlah pengetesan di Indonesia yang masih kalah dengan sejumlah negara lainnya seperti Pakistan, Bangladesh, Ghana, dan Bolivia yang semuanya adalah negara lower middle.
Dia memaparkan, saat ini Pakistan telah mencatatkan 14.095 pengetesan COVID-19 per satu juta populasi. Sedangkan Bangladesh sebanyak 10.695, Ghana sebanyak 14.958, dan Bolivia sebanyak 24.366 tes.
"Padahal kita adalah negara berpenghasilan ke atas atau upper middle income. Ini ironis. Enggak ada alasan kita kalah karena kita lebih kaya, tidak ada alasan kenapa testing kita rendah," pungkasnya.