WHO: Pengubahan Data di Level Nasional Bisa Mempersulit Analisa
ERA.id - Di tengah pergunjingan soal statistik kematian di Indonesia, perhatian sebagian publik kini tertuju pada soal bagaimana kasus kematian akibat COVID-19 seharusnya dicatat.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah merilis Panduan Sertifikasi dan Klasifikasi COVID-19 Sebagai Penyebab Kematian pada tanggal 16 April 2020. Dokumen ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mencatat jumlah kematian yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 yang mengakibatkan COVID-19.
Menurut dokumen tersebut, kematian akibat COVID-19 adalah "kematian yang diakibatkan oleh suatu kondisi klinis, dalam kasus dugaan COVID-19 atau yang sudah terkonfirmasi, kecuali ada penyebab lainnya yang tak berkaitan dengan COVID-19 (contoh: trauma benturan)."
Ditambahkan pula, kasus pasien yang sudah sembuh dari COVID-19, namun, beberapa saat kemudian meninggal, tidak bisa dikategorikan sebagai seseorang yang wafat karena COVID-19.
Hal penting lainnya adalah bahwa kematian akibat COVID-19 tidak boleh disebut disebabkan oleh penyakit lainnya (contoh: kanker). Kasus ini harus dicatat dengan cara khusus, yaitu dengan menambahkan catatan kondisi bawaan yang dimaksud.
Pencatatan Kematian Akibat COVID-19
Selain kematian murni akibat COVID-19, yaitu dengan gejala pneumonia dan gagal nafas, WHO meminta rekaman medis dibuat sedetil mungkin bila ada kondisi lainnya, yaitu terkait kondisi penyakit penyerta (comorbidities).
Pada momen perilisan dokumen tersebut, yaitu bulan April 2020, WHO memang telah menemukan bahwa orang dengan penyakit kronis dan sistem imun tertentu memiliki resiko lebih besar mengalami kematian akibat COVID-19. Kondisi kronis ini contohnya adalah penyakit pembuluh darah koroner, chronic obstructive pulmonary disease (COPD), diabetes, atau disabilitas. Untuk pasien yang memiliki kondisi seperti ini, rekaman medisnya harus dibuatkan pencatatan khusus.
Di situ disebutkan bahwa penyakit COVID-19, beserta pneumonia dan gagal nafas, menjadi penyebab kematian, sementara penyakit bawaan menjadi komorbid dan dicatat sebagai keterangan tambahan.
Namun, WHO juga menyebutkan ada kasus kematian tertentu yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai disebabkan oleh COVID-19, meskipun sang pasien diduga terinfeksi virus korona. Contohnya, kasus kecelakaan motor yang fatal atau gagal jantung. Dalam kasus-kasus semacam itu, COVID-19 akan ditulis sebagai keterangan tambahan yang mungkin menjadi penyebab parahnya kondisi si pasien.
Dalam dokumen yang sama, WHO menyebutkan bahwa tujuan dari mengklasifikasikan tingkat kematian (mortalitas) adalah untuk "menciptakan statistik kematian yang seberguna mungkin."
WHO juga menghimbau bahwa tiap negara tidak boleh mengoreksi apa yang mereka anggap sebagai kekliruan (error), karena mengubah prosedur pencatatan data di tingkat nasional akan membuat data tersebut tidak bisa dibandingkan dengan data dari negara lain, sehingga menyulitkan analisa.
Sebelumnya beredar kabar bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana melakukan "intervensi" soal definisi operasional kematian pasien COVID-19, yaitu dengan membedakan apakah pasien benar-benar wafat karena infeksi COVID-19 atau karena penyakit penyerta (komorbid).
"Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena COVID-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO, dan juga dukungan BPJS Kesehatan dalam pengajuan klaim biaya kematian pasien disertai COVID-19," ujar Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Ekonomi Kesehatan, M. Subuh, Selasa (22/9/2020).
Subuh menuturkan bahwa klasifikasi akan menghasilkan data yang akurat dan agar data pusat dengan daerah bisa singkron, utamanya mengenai apakah kematian pasien disebabkan oleh COVID-19 atau karena penyakit penyerta (komorbid).