Calon Tunggal, Memilih Petahana atau Kotak Kosong
Dari 171 daerah yang ikut Pilkada, ada 13 daerah yang diisi oleh calon tunggal. Kebanyakan, calon tunggal ini adalah petahana. Kalau begini, mereka akan melawan kotak kosong saat pencoblosan di tempat pemungutan suara pada 27 Juni.
Aturan mengenai calon tunggal telah diatur pada UU Nomor 10 tahun 2016 dalam pasal 54A hingga pasal 54D. Setiap daerah yang diisi calon tunggal, tidak ada prosesi pengambilan nomor urut.
Namun, saat pengambilan suara nanti, surat suara hanya memuat dua kolom. Satu kolom memuat foto pasangan dan satu kolom lainnya kosong tidak bergambar.
KPU menyatakan bahwa calon tunggal dapat dikatakan menjadi pemenang apabil meraih suara lebih dari 50% dari suara sah.
Apabila kotak kosong memenangkan perolehan suara, maka pemilihan diulang kembali pada jadwal pilkada serentak selanjutnya. Segala wewenang kepemimpinan daerah dalam rentang waktu tersebut akan diambil alih oleh Pemerintah Pusat untuk menentukan penjabat sementara gubernur, bupati ataupun wali kota.
(Infografis: era.id)
Pengamat Politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, menyayangkan Pilkada di sebuah daerah hanya diikuti oleh calon tunggal. Dia menilai ada dua kemungkinan munculnya calon tunggal pada sebuah daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Yaitu, karena tidak ada kader yang mumpuni atau karena calon petahana yang benar-benar potensial.
"Ketiadaan calon menciptakan kondisi bahwa partai politik mengalami disfungsi kaderisasi, dalam arti partai gagal menciptakan tokoh alternatif," ujarnya, Rabu (21/2/2018).
Cecep menilai, seharusnya partai politik berani mengajukan nama dalam sebuah kontestasi pilkada. Keberanian ini akan menjadi tolok ukur sebuah partai mampu mendelegasikan kadernya menjadi pemimpin.
"Tapi, pada akhirnya partai takut untuk mengajukan calonnya, partai menjadi tidak percaya diri dan akhirnya cenderung pragmatis mendukung petahana," ujarnya.
Apalagi, calon petahana memiliki elektabilitas yang tidak terbendung dan punya semua aspek untuk tetap kembali menjabat sebagai kepala daerah.
"Petahana mempunyai segala daya dan upaya, asal tidak terjerat skandal, korupsi, dan tindakan kriminal lainnya, potensi menang tetaplah besar," katanya.
Lebih jauh, Cecep menganggap fenomena calon tunggal akan berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi. Karena ini akan membentuk apatisme masyarakat karena telanjur puas atau tidak peduli sama sekali.
"Tidak pedulinya masyarakat tentunya dapat diartikan sebagai bagian dari golongan putih, atau mendukung penuh terisinya suara di kotak kosong," ujar dia.