Bukan Sekadar Kiasan, Ini Asal Usul Istilah "Air Mata Buaya"
ERA.id - Istilah "air mata buaya" sering kali digunakan untuk menggambarkan emosi palsu pada seorang munafik yang pura-pura bersedih dan mengeluarkan air mata.
Konon kiasan ini berasal dari kepercayaan kuno yang menyebut bahwa buaya meneteskan air mata saat memakan mangsanya. Istilah ini juga hadir dalam banyak bahasa modern, terutama di Eropa, di mana istilah itu diperkenalkan dalam bahasa Latin.
Buaya juga menangis untuk melumasi mata mereka saat keluar dari air untuk waktu yang lama dan saat mata mereka mulai mengering.
Namun, tidak mesti begitu. Buaya menangis juga bisa dipicu karena aktivitas mengonsumsi makanan. Ketidaknormalan ini disebut dengan nama sindrom bogorad atau biasa disebut "sindrom air mata buaya" yang mengacu pada legenda tersebut.
Mengacu pada istilah "air mata buaya" sederhananya sang predator menangisi korban yang mereka makan. Tandanya, ia menikmati makanannya sambil menangis, tidak tahu itu menangis sedih, menyesal, atau bahagia.
Pemaknaan itu bukan pertama kali muncul di Indonesia. Filsuf Yunani, Plutarch membedah frasa itu dengan membandingkan perilaku buaya dengan orang yang menginginkan seseorang mati, tetapi kemudian meratapi mereka di depan umum. Kisah ini akhirnya dimasukkan oleh teolog abad pertengahan awal, yakni Photios, ke dalam glosarium Kristen di bibliotek mereka.
Photios menggunakan cerita tersebut untuk mengilustrasikan konsep Kristen tentang pertobatan. Cerita ini diulangi dalam bestiaries seperti De bestiis et aliis rebus. Lalu setelahnya, disebarlah kisah ini dalam bahasa Inggris melalui kisah-kisah perjalanan Sir John Mandeville pada abad ke-14.
Seorang penulis, Edward Topsell, kemudian menjelaskan "air mata buaya" dengan mengatakan, "tidak banyak binatang buas yang dapat menangis, tetapi seperti sifat buaya yang membuat manusia bisa dalam bahaya, tentunya buaya akan menangis. Awalnya menghela nafas lalu air matanya keluar seolah-olah bersedih, tetapi tiba-tiba dia menghancurkannya (manusia)."
Dalam versi ini, buaya berpura-pura dalam kesusahan untuk memikat mangsa ke dalam rasa aman palsu. Namun, Topsell juga mengacu pada cerita yang lebih tua, bahwa buaya menangis saat dan setelah memakan manusia. Hal ini mengulangi standar moral Kristen, bahwa hal tersebut seperti pertobatan palsu yang dilakukan Yudas yang menangis setelah mengkhianati Yesus.
Perilaku buaya yang sebenarnya
Meskipun buaya dapat mengeluarkan air mata yang tidak terkait dengan emosi. Cairan dari matanya berfungsi untuk membersihkan dan melumasi mata sama seperti manusia, dan yang paling menonjol saat buaya itu sudah lama berada di lahan kering.
Dalam kasus buaya Amerika dan buaya air asin, air mata membantu mereka menghilangkan kelebihan garam dalam tubuhnya yang ikut bersama makanan, menurut ahli hewan, Adam Britton. Adam juga mengakui, sulit untuk melacak frasa legenda itu, tetapi mudah untuk melihat mengapa fenomena itu menjadi populer, sebab memang buaya menangisi korbannya. Hal itu dianggap ironi yang tak terlupakan yang menginspirasi banyaknya prosa dan kelahiran sebuah karya.
Pada tahun 2006, ahli saraf Malcolm Shaner, dibantu oleh Kent Vliet, seorang peneliti di Universitas Florida, memutuskan untuk menguji cerita bahwa buaya atau kerabat dekat aligator dan kaiman cenderung "menangis" saat makan.
Saat belajar soal hewan di Taman Zoologi Peternakan Buaya St. Augustine Florida, Vliet memberi makan tujuh kaiman. Dia memilih kaiman daripada buaya, karena di cagar alam, mereka terlihat makan di lahan kering.
Hasilnya, lima kaiman “menangis” dan diambillah kesimpulan bahwa cerita tersebut menggambarkan fenomena nyata. Para peneliti berpendapat bahwa "tangisan" mungkin disebabkan oleh desisan udara yang hangat selama ia makan, yang masuk melalui sinus, lalu merangsang buaya untuk mengeluarkan air mata.