Begini Cara Pemerintah Tracing Pasien COVID-19

ERA.id - Pemerintah menjelaskan bagaimana proses pelacakan kontak erat pasien terkonfirmasi positif COVID-19 ataupun orang berstatus suspek, dilihat dari periode waktu munculnya gejala. 

Seperti diketahui, istilah tracing atau kontak kerat baru saja dikenalkan pemerintah untuk menggambarkan orang-orang yang sempat melakukan kontak dekat dengan pasien positif COVID-19 bergejala, tanpa gejala, atau dengan suspek. Bagaimana bentuk tracing yang dimaksud? 

"Bisa berupa kontak dekat tatap muka tanpa perlindungan masker dengan kasus positif Covid-19 atau probable pada jarak kurang dari 1 meter dan dalam waktu lebih dari 15 menit. Kalau ini terjadi pada satu orang, maka dia masuk dalam kriteria kontak dekat yang memiliki risiko tertular COVID-19," ujar Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Achmad Yurianto, Senin (28/9/2020). 

Selain itu, kontak dekat bisa berupa sentuhan fisik secara langsung dengan kasus positif COVID-19 ataupun individu probable. Misalnya bersalaman, berpegangan tangan, atau sentuhan lainnya.

Kontak dekat juga bisa melekat pada orang-orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus positif COVID-19 atau suspek tanpa menggunakan APD yang memenuhi syarat. 

"Ini masuk dalam kontak dekat. Ini penting karena dalam survei epidemiologi maka kelompok ini harus mendapat perhatian khusus," kata Yurianto. 

Infografik (Ilham/era.id)

Kemudian, tarcing pun terbagi menjadi dua jendela waktu. Kontak erat untuk kasus positif COVID-19 yang bergejala dan individu problable dilakukan dengan mencari siapa saja pihak yang sempat melakukan kontak dekat dalam rentang dua hari sebelum gejala muncul sampai 14 hari setelah gejala timbul.   

Sedangkan kontak erat untuk kasus positif Covid-19 yang tanpa gejala, dilakukan dengan mencari siapa saja pihak yang sempat melakukan kontak dekat terhitung sejak dua hari sebelum pengambilan spesimen hingga 14 hari setelahnya. 

"Inilah periode yang bisa kita identifikasi siapa saja yang jadi kontak erat. Ini menjadi penting karena inilah kelompok yang harus kita identifikasi dengan jelas saat melakukan tracing secara masif," katanya. 

Yuri menyebutkan, hasil identifikasi epidemiologi menunjukkan bahwa penambahan kasus COVID-19 paling banyak terjadi di lingkungan yang kualitas sirkulasi udaranya buruk. Risiko penularan semakin tinggi bila ruangan hanya bergantung pada sistem pendingin ruangan tanpa ada sirkulasi. 

"Apalagi kalau kurang disiplin jaga jarak. Dan menganggap karena berada di ruang kerja yang sudah akrab maka gunakan masker tidak perlu," kata Yurianto.