Samai Isu Politik dan Kpop, Ada Apa dengan Es Krim Aice?

ERA.id - Masalah buruh pekerja di PT Alpen Food Industry (PT AFI), produsen es krim Aice, masih belum reda. Terlihat dari tagar penolakan terhadap es krim Aice yang sempat trending di Twitter. Uniknya, isu ini sering kali berderet menyamai isu politik dan Kpop. Mengapa?

Tagar #StopBeliEsKrimAice digunakan oleh warganet untuk menunjukkan kekecewaan mereka terhadap perlakuan yang dinilai tidak manusiawi kepada buruh pabrik es krim Aice di Cikarang Barat, Bekasi tersebut.

Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) selaku federasi yang menanungi Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia PT Alpen Food Industry (SGBBI PT AFI) menjelaskan masalah hubungan industrial antara pihak pekerja dengan pengusaha PT AFI.

Masalah pertama, mengenai penurunan upah karena PT AFI menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 1520, yaitu makanan yang terbuat dari susu, tetapi diubah menjadi KBLI es krim pada tahun 2017. Hal tersebut menyebabkan nilai upah buruh turun, dari upah sektor II, menjadi upah minimum Kabupaten (UMK).

"Jika mengacu pada upah minimum tahun 2019, maka buruh kehilangan upah sebesar Rp280 ribuan," tutur asisten advokat F-Sedar, Sarinah melalu laman resmi F-Sedar.

Sekadar diketahui, 2019 lalu, upah yang berlaku di PT AFI adalah UMK ditambah Rp10.000. Kemudian, sejak tahun 2018, buruh di pabrik es krim Aice banyak dimutasi dan bahkan demosi. Pemindahan tersebut dilakukan secara sepihak, dan seringkali ditempatkan di bagian produksi, yang dianggap berat. Ada pula yang didemosi setelah mengikuti aksi mogok, sehingga upah dan tunjangannya diturunkan.

"Pengusaha tidak peduli buruh memiliki penyakit tertentu, misalnya endometriosis yang diidap oleh saudari Er," ujar Sarinah.

"Dia tetap dipindahkan beberapa kali, hingga ke bagian produksi yang semakin memperburuk kondisinya. Upahnya pun diturunkan," tuturnya menambahkan.

Sarinah mengungkapkan bahwa serikat bukan menolak perintah kerja, tetapi mutasi seharusnya dibicarakan terlebih dahulu, diberikan pelatihan yang memadai, serta diberikan surat tugas baru secara tertulis secara langsung ke pekerja.

Masalah lain yakni perempuan hami dipekerjakan pada malam hari. Hasilnya, sepanjang tahun 2019, terjadi 13 kasus keguguran dan 5 kematian bayi sebelum dilahirkan. Kasus bertambah menjadi satu kasus keguguran, dan satu kasus kematian bayi pada awal tahun 2020.

Sampai minggu ini, F-Sedar mengungkapkan data mengenai total kasus keguguran, yakni sebanyak 21 kasus. Salah satu permasalahannya adalah buruh perempuan hamil tidak dapat mengambil kerja non-sif, karena dipersulit dengan syarat harus ada keterangan dari dokter spesialis kandungan, serta harus ada kelainan kandungan.

"Sebelum mengambil cuti melahirkan, buruh diminta membuat pernyataan ditulis tangan dengan materai, yang salah satu isinya adalah tidak akan menuntut kepada perusahaan di kemudian hari, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," tutur Sarinah.

Pada pemogokan di akhir tahun 2017, pengusaha mendiskriminasi buruh dengan memberikan bonus kepada pekerja yang tidak melakukan mogok, sebesar Rp1 juta per orang. Tetapi, bonus tersebut dibayarkan berupa cek yang diberikan oleh Komite Distributor Aice, Liliana Gao, dan ketika akan dicairkan justru resi cek itu tidak terdaftar.

"Kami berusaha mengonfirmasi kepada pihak perusahaan, dia mengatakan perusahaan pembayar sudah tutup," ujar Sarinah.

Nasib buruh kontrak pun dinilai bertentangan dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor 100 tahun 2004.

Alasannya, buruh dipekerjakan di bagian produksi yang bersifat tetap, bersama dengan karyawan tetap. "Kasus ini sekarang sedang dalam proses mediasi, dan pengusaha tidak pernah menghadiri dua kali panggilan mediasi," tutur Sarinah.

Terakhir, mengenai nasib buruh outsourcing dari Jawa Timur, yang ditempatkan di penampungan yang dihuni sekitar 40 pekerja. Kondisi rumah terdiri dari dua kamar tidur dan satu kamar mandi, pekerja pun hidup berhimpit-himpitan serta kondisi makanan yang tidak layak.

Penggunaan buruh alih daya tersebut juga bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 19 tahun 2012.

Peraturan tersebut mengatur penggunaan pekerja alih daya, hanya diperbolehkan di bagian penunjang. Namun, kenyataannya buruh outsourcing dipekerjakan di bagian produksi utama.