Maroko dan Kusutnya Perang Narasi di Sahara Barat
ERA.id - Pada Kamis, 10 November, Presiden Donald Trump membuat cuitan di Twitter yang mengenang hubungan sejarah antara Maroko dan Amerika Serikat di akhir Abad ke-18.
"Maroko mengakui Amerika Serikat pada tahun 1777," tulis Presiden Trump. "Itulah kenapa sudah sepantasnya kita mengakui kekuasaan mereka atas kawasan Sahara Barat."
"Proposal otonomi yang serius, kredibel, dan realistis dari Maroko adalah SATU-SATUNYA solusi paling adil demi terciptanya perdamaian dan kesejahteraan!"
Pada hari itu, Maroko mengembalikan hubungan diplomatiknya dengan Israel, menjadikannya negara Arab keempat yang menempuh langkah tersebut, selain Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan. Dan sebagai 'imbalannya', Amerika Serikat menyediakan diri untuk mengakui kekuasaan Kerajaan Maroko atas kawasan Sahara Barat, teritori seluas 266.000 di utara Algeria yang selama 45 tahun ingin merdeka, namun, terkungkung oleh 'perang narasi' Maroko di dunia internasional.
Nasib Gelap Sahara Barat
Pada tahun 1975 Spanyol meninggalkan koloninya di Afrika Utara, dengan pengecualian untuk teritori Ceuta dan Melilla. Belakangan, Maroko ikut pasang badan dan mengklaim berhak atas kawasan Sahara Barat tersebut karena pertalian kultur dan politik.
Namun, kelompok Front Polisario, organisasi politik-militer yang awalnya terbentuk untuk melawan Spanyol, menolak klaim Maroko. Sebagai tandingan, mereka mendirikan the Sahrawi Arab Democratic Republic (SADR) pada tahun 1976 dan bertujuan memerdekakan warga Islam Sahrawi yang tinggal di kawasan Sahara Barat.
Namun, benturan militer antara Maroko dan kelompok Polisario selama bertahun-tahun justru membuat Maroko berhasil menguasai 80 persen teritori Sahara Barat. Konflik juga memaksa kebanyakan warga Sahrawi mengungsi ke kota Tindouf, Algeria, tempat mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian yang dikelola Polisario dan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Diperkirakan ada 125.000 orang yang tinggal di kamp pengungsi tersebut hingga saat ini.
Upaya resolusi konflik sudah dimulai pada tahun 1991 oleh PBB lewat Misi Referendum Sahara Barat (MINURSO). Awalnya, kedua faksi militer yang berkonflik diminta untuk mematuhi gencatan senjata. Kemudian, PBB meminta Kerajaan Maroko untuk mengadakan referendum agar masyarakat etnis Sahrawi bisa menentukan nasib sendiri.
Namun, meski gencatan senjata terus berjalan, hingga kini referendum itu tak bernah terjadi.
Gencatan Senjata, Perang Narasi
Seperti dikemukakan Flora Pidoux, kandidat doktoral di Universite de Montreal, dalam laman The Conversation, seakan-akan tak banyak yang berubah sejak misi PBB tahun 1991 itu. Namun, menurutnya, konflik antara Maroko dan pemerintahan SADR telah berubah dari 'konflik beku' menjadi 'perang pengaruh', atau war of attrition, dengan Maroko berusaha mendominasi narasi konflik Sahara Barat di kancah dunia.
Langkah-langkah Maroko mulai mendapat pengakuan dunia internasional kira-kira pada tahun 2007 lewat Rencana Otonomi yang mereka ajukan ke Sekretaris-Jenderal PBB.
"Rencana ini bakal mencegah kemerdekaan Sahara Barat dengan cara mengubah kawasan tersebut menjadi provinsi otonom dari Kerajaan Maroko," sebut Pidoux.
Rencana tersebut langsung disetujui oleh komunitas internasional, dimulai oleh persetujuan Dewan Keamanan PBB.
Pada 2017, Maroko kembali bergabung dengan organisasi Uni Afrika, setelah sebelumnya absen dari komunitas itu selama 33 tahun. Sejak itu Maroko telah berhasil meraup dukungan dari 28 negara atas agenda penghapusan pemerintahan SADR yang selama ini didukung oleh Algeria dan beberapa negara Amerika Selatan.
Raja Muhammad VI, pemimpin monarki Maroko, selama beberapa tahun ini secara langsung terus berkeliling ke negara-negara di Afrika, mencari dukungan atas pendudukan Sahara Barat yang kelak akan dibalas dengan imbalan hibah finansial. Yahia Zoubir, Profesor Hubungan Internasional dan eopolitik di Kedge Business School, mengatakan bahwa bantuan hibah semacam ini sangat berguna bagi negara-negara kecil di Afrika.
"Maroko membujuk negara-negara lemah dan berusaha mempengaruhi keputusan mereka," kata Zoubir.
"Motivasi negara-negara kecil Afrika mendukung Maroko yang relatif kaya bisa ditakar dengan uang. Negara-negara ini berutang besar dan kesulitan dari segi ekonomi. Mereka melakukannya untuk mendapat dana hibah dari Maroko."
Kebijakan yang ekspansif dari Maroko mendapat perlawan paling kuat dari Aljazair, tetangganya sendiri. Aljazair, misalnya, menuding Pantai Gading, salah satu penerima hibah dari Maroko, melanggar hukum internasional dan melupakan "tanggungjawab yang jadi mandat pendirian Uni Afrika" karena mendirikan gedung diplomatik di kota El Aaiún, atau Dkhla, di kawasan Sahara Barat yang penuh kontroversi.
Juru bicara Front Polisario di Jerman, Naja Hindi, berbicara kepada koran DW, menilai Maroko melanggar hukum internasional dengan membangun gedung-gedung diplomatik di kota El Aaiún.
"Kenapa pula negara-negara ini membuka kantor perwakilan di kawasan, di mana mereka tidak memiliki seorangpun warga negara yang harus dilayani? Kenapa tidak membuka kantor konsulat di salah satu kota di Maroko? Kenapa harus di El Aaiún?" kata Naja.
Konflik yang belum terurai makin dipersulit oleh tindakan Presiden Trump yang mengakui kekuasaan Kerajaan Maroko di Sahara Barat. Samia Errazzouki, bekas jurnalis asal Maroko dan pengamat isu Sahara Barat, berpendapat bahwa dukungan Amerika Serikat bakal memperkecil kemungkinan adanya referendum di kawasan tersebut, sesuatu yang sudah dimandatkan oleh PBB sejak 1991.
"Ketiadaan referendum akan berdampak bagi Front Polisario dan para pengungsi," kata Errazzouki, awal bulan ini. "Dan seperti yang kita lihat selama beberapa bulan terakhir, perang masih sangat mungkin terjadi."
Di Amerika Serikat sendiri, dengan Presiden Trump dijadwalkan keluar dari Gedung Putih pada 20 Januari 2021, pemerintahan selanjutnya yang akan dipimpin oleh Presiden-terpilih Joe Biden bakal berada dalam situasi yang sulit di kawasan Sahara Barat, serta Timur Tengah.
Seperti ditulis Errazzouki, Biden mungkin akan didesak anggota partai dan sekutu AS untuk menarik kembali pengakuan AS atas kekuasaan Maroko di Sahara Barat. Namun hal tersebut bisa menimbulkan gesekan dengan Maroko dan Israel sekaligus.
Solusi terbaiknya adalah Rencana Otonomi yang diajukan Maroko, demikian bila kita kembali pada Flora Pidoux.
"Rencana Otonomi Maroko tampaknya punya solusi yang paling memungkinkan bagi konflik ini. Ia bisa menggabungkan keperluan dari kedua pihak. Maroko tetap bisa berkuasa di kawasan Sahara Barat, dan warga etnis Sahrawi bisa tetap menentukan nasib mereka sendiri," kata Pidoux.
Namun, hal itu tak menggaransi hak politik bagi Front Polisario. Dan dalam hal ini pilihan penyelesaian konflik Sahara Barat semakin sedikit.
"Dengan Maroko makin diuntungkan oleh perang narasi, kesempatan penyelesaian konflik via negosiasi pun makin kecil. Bahkan dengan solusi yang tersedia sekarang, masih belum ada jaminan terciptanya stabilitas di kawasan tersebut."