Perhatian! Tolak Vaksinasi Covid-19 Bisa Dipidana Penjara dan Denda Rp100 Juta
ERA.id - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej menyatakan, warga yang menolak vaksinasi Covid-19 dapat dijatuhi hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Edward mengatakan, vaksinasi Covid-19 merupakan bagian dari kewajiban seluruh warga negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat.
"Ketika pertanyaan apakah ada sanksi atau tidak, secara tegas saya mengatakan ada sanksi itu. Mengapa sanksi harus ada? Karena tadi dikatakan, ini merupakan suatu kewajiban," kata Edward dalam webinar yang disiarkan akun YouTube PB IDI, Sabtu (9/1/2021).
Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada itu mengatakan, ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Akan tetapi, sanksi pidana tersebut bersifat sebagai pilihan terakhir ketika sarana hukum lainnya tidak berfungsi.
Pasal 93 UU tersebut menyatakan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Sementara itu, pada pasal 9 UU yang sama, disebutkan bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
"Jadi ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini adalah suatu kewajiban maka secara mutatis mutandis jika ada warga negara yang tidak mau divaksin maka bisa dikenakan sanksi, bisa berupa denda, bisa berupa penjara, bisa juga kedua-duanya," ujar Edward.
Edward mengatakan, sanksi serupa juga berlaku bagi perbuatan lain yang tidak sesuai kekarantinaan kesehatan seperti tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak.
Sebelumnya, beberapa tenaga kesehatan (nakes) mengaku enggan disuntik vaksin COVID-19 Sinovac asal China. Hal ini dikarenakan mereka ragu dengan kemampuan vaksin tersebut untuk melawan Covid-19.
Salah satu nakes di Kota Medan, mengaku menolak divaksin yang akan dilakukan pada pekan depan karena dinilai meragukan. "Masih sangsi karena belum lulus uji klinis dan masih diragukan," ujar Syifa, salah satu nakes di salah satu Puskesmas Kota Medan, kepada ERA.id, Selasa (5/1).
Namun, ia mendapatkan kabar vaksin tersebut belum teruji klinis dan kemampuannya hanya dari kabar antar sesama nakes. "Saya dapat infonya dari grup WA aja," sambungnya.
Tak hanya di Medan, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Solo Adji Suwandono, juga mengaku ada sejumlah nakes yang enggan menerima suntikan vaksin karena beberapa alasan.
”Kalau secara kelembagaan kami jelas mendukung (adanya vaksin). Tapi kami kembalikan lagi ke masing-masing nakes, silahkan menerima atau menolak,” kata Adji.
Dia mendorong pemerintah agar segera memberikan vaksin pada para nakes. Sebab setiap hari nakes menanggung risiko terpapar virus ini. Setiap hari mereka berinteraksi dengan orang yang terinfeksi Covid-19.
Adji mengimbau nakes dan anggotanya untuk menerima vaksin ini. Sebab dengan menerima vaksin bisa menekan potensi penularan Covid-19.
”Entah efektif atau tidak, kalau saat ini kita tidak berbuat apapun sama saja mati konyol. Tapi lebih baik menerima vaksin dengan segala resikonya. Ini menjadi upaya dan ikhtiar. Hasilnya kita serahkan pada yang membuat hidup saja,” kata Adji.
Dia yakin jika vaksin yang digunakan pemerintah saat ini dilakukan melalui tahapan pengujian standar. Penerima vaksin diwajibkan melalui penyaringan supaya syarat-syarat terpenuhi. Syarat yang ditentukan yakni usia antara 18-59 tahun, tekanan darah kurang dari 140/90, tidak demam, tidak hamil atau menyusui, dan tidak ada penyakit penyerta seperti diabetis melitus.
”Semua sudah dibuat sedemikian rupa supaya aman,” ucapnya.
Terkait hal ini IDI Solo sudah koordinasi dengan Pengurus Besar IDI terkait adanya penolakan tersebut. Dia mengimbau anggotanya untuk tetap menerima vaksin ini. Namun jika ada yang menolak, semua dikembalikan ke masing-masing nakes.
”Kalau tetap menolak ya kembali ke prinsip otonomi. Kami tidak bisa memaksa,” ucapnya.