Hakim Ungkap 'Action Plan' Kasus Djoko Tjandra, 'Seret' Nama Burhanuddin dan Hatta Ali

ERA.id - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjelaskan isi 'action plan' yang mencantumkan nama Jaksa Agung ST Burhanuddin dan mantan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali agar terpidana kasus "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra tidak perlu menjalani hukum.

"'Action' pertama adalah penandatangan 'security deposit' atau akta kuasa jual yang dimaksudkan sebagai jaminan bila "security deposit" yang dijanjikan Djoko Tjandra tidak terealisasi. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya yang akan dilaksanakan pada 13- 23 Febuari 2020," kata ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto di pengadilan Tipikor Jakarta dikutip dari Antara, Senin (8/2/2021).

Hakim Eko menyampaikan hal tersebut dalam pembacaan vonis terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari.

"'Action" kedua, pengiriman surat kepada Burhanuddin/BR sebagai pejabat Kejaksaan Agung," tambah hakim eko.

Menurut Eko, yang dimaksudkan Pinangki yaitu surat permohonan fatwa Mahkamah Agung dari pengacara kepada Kejakasaan Agung untuk diteruskan kepada MA. Penanggung jawab adalah IR atau Andi Irfan Jaya dan AK Anita Dewi Kolopaking yang akan dilaksanakan pada 24-25 Februari 2020.

"'Action' ketiga adalah BR/Burhanuddin/pejabat Kejaksaan Agung mengirimkan surat kepada HA/Hatta Ali/pejabat Mahkamah Agung yang dimaksudkan terdakwa sebagai tindak lanjut surat pengacara terhadap permohonan fatwa MA. Penanggung jawab adalah IR atau Andi Irfan Jaya dan P (Pinangki) yang akan dilaksanakan pada 26 Februari - 1 Maret 2020," ungkap hakim Eko.

Hatta Ali diketahui masih menjabat sebagai Ketua MA pada Maret 2020 dan memasuki masa pensiun pada April 2020.

"Action" ke-4 adalah pembayaran 25 persen "consultant fee" yaitu P mendapat sebesar 250 ribu dolar AS.

"Yang dimaksudkan terdakwa adalah pembayaran tahap 1 atas kekurangan pemberian "fee" kepada terdakwa sebesar 1 juta dolar AS yang telah dibayar uang mukanya sebesar 500 ribu dolar AS. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020," ungkap hakim Eko.

"Action" ke-5 adalah pembayaran konsultan media "fee" kepada Andi Irfan Jaya sebesar 500 ribu dolar AS untuk mengondisikan media dengan penanggung jawab Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.

"'Action' ke-6 adalah HA, Hatta Ali pejabat Mahkamah Agung menjawab surat BR atau Burhanuddin pejabat Kejagung, yang dimaksudkan terdakwa adalah jawaban MA atas surat Kejaksaan Agung tentang permohonan fatwa MA. Penanggung jawabnya adalah HA, Hatta Ali pejabat Mahkamah Agung/DK belum diketahui/AK, Anita Kolopaking yang akan dilaksanakan pada 6-16 Maret 2020," jelas hakim Eko.

"Action" ke-7 adalah BR, pejabat Kejagung menerbitkan instruksi terkait surat HA atau Hatta Ali yaitu menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanaan fatwa MA. Penanggung jawaab adalah IF (belum diketahui)/P (Pinangki) yang akan dilaksanakan pada 16-26 Maret 2020.

Selanjutnya "action" ke-8 adalah "security deposit" cair yaitu sebesar 10 ribu dolar AS. Maksudnya, Djoko Tjandra akan membayar uang tersebut bila "action plan" poin ke-2 , ke-3, ke-6 dan ke-7 berhasil dilaksanakan. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 26 Maret - 5 April 2020. "Action" ke-9 adalah Djoko Tjandra kembali ke Indonesia.

"Yang dimaksudkan adalah Djoko Tjandra kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi pidana penjara selama 2 tahun. Penanggung jawab adalah Pinangki/Andi Irfan Jaya (IR)/Djoko Tjandra (JC) yang dilaksanakan pada April-Mei 2020," tambah hakim Eko.

"Action" ke-10 adalah pembayaran fee 25 persen sebesar 250 ribu dolar AS sebagai pelunasan atas kekurangan pembayaran "fee" terhadap Pinangki sebesar 1 juta dolar AS yang akan dibayarkan uang mukanya sebesar 500 ribu dolar AS bila Joko Tjandra kembali ke Indonesia seperti "action" ke-9. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada Mei-Juni 2020.

"Meski di persidangan, terdakwa dan Andi Irfan Jaya menyangkal menerima uang DP sebesar 500 juta dolar AS yang diberikan Djoko Tjandra namun dari barang bukti digital berupa iphone putih ditemukan chat 'whatsapp' antara terdakwa dan Anita Kolopaking," ungkap hakim Eko.

Hakim menilai bahwa benar Djoko Tjandra memerintahkan adik iparnya bernama Herriyadi Angga Kusuma (almarhum) pada 26 November 2019 untuk memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya.

Andi Irfan lalu memberikan uang 500 ribu dolar AS itu kepada Pinangki lalu Pinangki memberikan sebesar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada Anita Kolopaking sebagai uang muka "legal fee".

"DP 50 persen sebesar 500 ribu dolar AS itu adalah bagian dari keseluruhan uang yang dijanjikan Djoko Tjandra karena yakin terdakwa sebagai jaksa, Anita Kolopaking sebagai advokat dan Andi Irfan sebagai konsultan dapat membantu untuk mengurus perkara hukumnya," ungkap hakim Eko.

Jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS, melakukan pencucian uang sebesar 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036 serta melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA.

Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta agar Pinangki divonis selama 4 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.