Curhatan Florensia Saat Tahu 3 Anaknya Jadi Transpuan di NTT
ERA.id - Kisah ini terjadi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Laporan ini juga dilansir dari BBC Indonesia. Namanya Florensia Nona, 73 tahun, ia hidup ditemani banyak anak.
Perawakannya sederhana. Florensia Nona hobi makan sirih yang dicampur pinang. Saat diwawancara, ia menceritakan kisahnya saat membesarkan 3 anak lelaki yang belakangan menjadi banci. Banci, ya, Florensia Nona sendiri yang bilang itu.
"Saya tiap hari masih berkebun, menanam kacang," katanya di Desa Ipir, Kabupaten Sikka, NTT, Selasa (14/7/2020) silam.
Florensia Nona punya delapan anak. Tiga perempuan. Lima terlahir sebagai laki-laki, tapi tiga di antaranya, menjadi perempuan dari hari ke hari. "Mereka sampai besar, rambutnya panjang. Mereka datang ke dunia ini sebagai laki-laki. Tapi mereka duduk-duduk, dan lama-lama berjalan dengan gemulai," katanya.
Tiga anaknya yang belakangan menjadi transpuan itu memang sejak kecil tak seperti laki-laki. Mereka tak suka berkebun. Ia hanya hobi memasak. "Saya punya anak tiga banci ini, Tuhan yang buat," kata Florensia sambil tersenyum.
Florencia lalu menyebutkan tiga anaknya yang menjadi transpuan itu. Pertama adalah Ardianus yang kemudian akrab disapa Linda Ardian. Sejak remaja, Linda jarang pulang ke rumah karena kerap bertengkar dengan bapaknya. Mengapa? Alasannya, bapaknya tak suka Linda belajar mengikat tenun. Ia takut anak lelakinya akan jadi sasaran serangan babi hutan. Begitu mitos yang beredar di lingkungan Linda.
"Bapak marah, jangan ikat tenun, nanti babi hutan gigit. Makanya si Linda ini pergi. Tapi mama tidak marah," kata Florensia.
"Bapak marah ini, sampai pukul. Sebab kamu ini laki, kenapa seperti perempuan. Si Linda ini bilang, bapak jangan marah. Kami masak ini kan untuk bapak," kenang Florensia.
Waktu berlalu. Bapak Linda atau suami Florencia meninggal dunia. Kini, segala urusan adat istiadat keluarga diwakili oleh Linda. Seperti mengurus tanah, pernikahan, hingga rapat pengambilan keputusan.
"Hanya yang Linda, bisa omong soal urusan rumah adat. Sementara mereka yang dua (anak laki-laki) itu, belum bisa untuk urusan adat di rumah," kata Florensia.
Sewaktu hidup, kata Florensia, suaminya itu membedakan perlakuannya kepada 3 anak transpuannya dan anak lelakinya yang lain. "Mereka tiga orang ini sudah jadi perempuan. Kamu dua orang ini harus isap rokok, minum arak," kata menirukan ucapan mendiang suaminya saat masih hidup.
Tapi bagaimana pun, Florensia mengatakan, "Mama sayang, karena mereka anak kandung saya."
Kini Linda bekerja sebagai penjaga indekos di Kota Maumere. Saat ditemui, Linda mengenang perlakuan bapaknya semasa hidup. "Jadi waktu itu, adik (laki-laki) saya dua orang tak pernah temanan (dengan) kita. Selalu dengan bapak, makan dengan bapak, isap rokok dengan bapak. Sedangkan kami tiga orang itu selalu dengan mama," kata Linda.
"Kadang saya dipukul, saya disiksa, kadang dikasih telanjang, kadang dikasih botak rambut, tapi saya terima saja, saya tetap lawan sama orangtua saya. Kalau mereka enggak mau, ya saya lawan, saya lari sembunyi," tambah Linda.
Tapi bapaknya berubah sikap seiring waktu. Saat Linda menjadi penjaga toko dan membantu kehidupan keluarga. "Jadi waktu itu bapak bilang, biar kamu jadi banci, tapi kamu tetap kasih saya uang untuk kita hidup di rumah. Jadi waktu saya kerja itu uang gaji saya itu selalu saya kasih ke bapak," kata Linda.
"Saya sudah memaafkan (bapak) waktu putus napas. Cuma bapak pesan, tak boleh mencuri, tidak boleh berbuat sembarang, berbuatlah baik kepada orang," kata Linda.
Selain Linda ada adiknya, Lempianus Nong Pitoi yang sekarang akrab disapa Lola Pitaloka. Lola tak pernah bersekolah. Itu makanya Lola, menurut Linda, lebih leluasa menjadi transpuan. Lola mengaku menjadi yang pertama mendeklarasikan diri sebagai transpuan. "Saya yang duluan (jadi transpuan di keluarga), sejak kecil itu sudah lenggak-lenggok. Sudah bermain (peran) perempuan. Boneka-boneka. Masak-masak," ujar Lola.
"Bukan karena saya yang ada, atau saya yang suruh seperti saya. Harus berdandan seperti saya, harus bergaya seperti perempuan. (Datang) dengan sendirinya," kata Lola.
Uniknya, kakak-adik ini kerap bertengkar karena masalah kosmetik dan pakaian. "Pernah bertengkar, karena baku rampas bedaknya. Pensil alisnya. Ini saya punya. Ini saya punya, tak boleh pinjam. Beli, kau punya sendiri," kata Lola sambil tersenyum, mengenang masa remaja bersama kakaknya.
Walau sering bertengkar karena rebutan kosmetik, mereka juga kompak apalagi saat bapaknya marah di rumah. Mereka secara bergantian berbagi tempat persembunyian untuk bersolek dan berpakaian perempuan. Anak lelaki yang menjadi transpuan berikutnya adalah Serpinus Nong Essy, sekarang disapa Essy Moff. Kini ia merantau ke Kalimantan.
Selain tiga anaknya itu, Florensia Nona juga punya ponakan yang menjadi transpuan—sepupu dari Linda, Lola dan Essy. Salah satunya, Petrus Peter Song atau akrab dipanggil Chintya Datores. Ia mengaku sudah merasa menjadi perempuan saat duduk di bangku sekolah dasar. Sampai akhirnya, beranjak remaja, Lola mengajak Chintya bekerja di sebuah salon di Kota Maumere.
Dari sinilah, ia mulai terbiasa berdandan dan menggunakan pakaian perempuan. "Kebiasaan Kakak Lola ajarin seperti itu, saya bangun, mandi, saya berdandan, saya berpakaian perempuan, sudah saya duduk manis di depan (salon)," tandas Chintya.