Nasib 'Untung dan Buntung' Yayasan Supersemar dan Yayasan Harapan Kita, 'Warisan' Soeharto
ERA.id - Sepanjang 32 tahun berkuasa, mantan Presiden ke-dua Soeharto mendirikan banyak yayasan. Pasca kejatuhan Soeharto tahun 1998, pemerintah melalui kejaksaan agung langsung melakukan investigasi terhadap sejumlah yayasan milik Soeharto dan keluarganya.
Diantaranya Yayasan Supersemar dan Yayasan Harapan Kita yang dibawahi langsung oleh Soeharto dan ahli warisnya. Yayasan Supersemar didirikan tahun 1974 sebagai organisasi nirlaba yang mengususkan dirinya sebagai penyalur beasiswa bagi anak bangsa.
Di masa jayanya, dikutip dari laman wikipedia, dalam kuartal pertama yayasan Supersemar telah membagikan beasiswa ke 3.135 mahasiswa dengan rincian Rayon A sebesar Rp15.000 per bulan dan Rayon B Rp12.500 per bulan pada masa itu. Beroperasi sejak tahun 1975-2015 Yayasan Supersemar nyatanya telah memberikan bantuan pada mahasiswa dengan jenjang pendidikan S1, S2, dan S3 sebanyak 2 juta orang.
Terhitung hingga saat ini, Yayasan Supersemar telah memberikan jutaan beasiswa dari semua jenjang pendidikan, mulai SD-SMP-SMA, Mahasiswa, para peneliti yang menjalani studi pascasarjana, guru, pelatih dan olahragawan berprestasi. Namun yayasan itu harus berhenti beroperasi karena skandal korupsi yang mengakibatkan kerugian uang negara. Pada tahun 2007 Yayasan Supersemar beserta Soeharto digugat oleh Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan dana donasi dari pemerintah yang besarnya mencapai Rp1,5 triliun.
Menurut jaksa, dikutip dari berbagai sumber, dana tersebut justru mengalir ke sejumlah perusahaan keluarga dan kroni Soeharto. Selain itu, kejaksaan juga menuntut ganti rugi immaterial sebesar Rp10 triliun yang dihitung akibat pemakaian dana yang menyimpang. Namun pada 27 Maret 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Wahjono menyatakan Soeharto tak bersalah karena telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pengurus Yayasan.
Akhirnya gugatan tersebut dilimpahkan ke Yayasan Supersemar. Mereka diwajibkan membayar ganti rugi 25 persen dari tuntutan yang diajukan pemerintah yakni 105 juta dolar AS dan Rp46 miliar. Namun setelah putusan pengadilan negeri hingga banding keluar yayasan Supersemar tidak mau membayar ganti rugi tersebut. Mereka mengaku tidak bersalah dan tidak memiliki uang serta aset.
Kasus ini terus bergulir hingga akhirnya pada tahun 2015 Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan Kejaksaan Agung. Dalam putusan itu dinyatakan bahwa yayasan keluarga Soeharto diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp4,4 triliun kepada negara.
Beberapa aset yang disita saat itu adalah vila di Mega Mendung, Bogor dan Gedung Granadi di Jakarta Selatan. Selain itu, Kejagung juga menyita 113 rekening milik Yayasan Supersemar oleh tim eksekutor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menutupi kerugian negara.
Hingga 2019 Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI telah mengumpulkan uang lebih dari Rp 242 miliar hasil eksekusi Yayasan Supersemar. Uang sitaan tersebut sudah dimasukkan ke kas negara pada 28 November 2019.
Berbeda cerita dengan yayasan Supersemar, saat ini Yayasan Harapan Kita (YKH) digugat oleh perusahaan asal Singapura Mitora Pte.Ktd ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dalam perkara bernomor 244/Pdt.G/2021/PN JKT.SEL itu. Nilai gugatan terhadap YKH mencapai Rp584 miliar, dengan rincian Rp84 miliar untuk membayar kewajiban dan Rp500 miliar sebagai ganti kerugian immateriil.
Didirikan oleh Tien Soeharto istri Soeharto, YKH didirikan pada tahun 1958. Setelah didirikan, YKH dikelola oleh Tien dan beberapa istri pejabat lainnya yaitu Siti Zaleha Ibnu Sutowo, Sri Dewanti Muhono, Kartini Widya Latief, Siti Maemunah Alamsjah, Wastuti Ali Murtopo, dan Soetamtitah Soedjono Humardani.
Yayasan ini akhirnya berkembang dengan mendirikan berbagai anak perusahaan. Sebut saja, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, RS Jantung Harapan Kita, Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP), dan masih banyak lagi.
Teranyar, pengelolaan TMII yang dulu berada di bawah YKH akan berpindah pengawasan ke Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg). Keputusan ini berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Terbitnya Perpres ini dilatarbelakangi masukan banyak pihak soal TMII. Salah satunya rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebelumnya dasar hukum soal TMII merujuk kepada Keppres Nomor 51 Tahun 1977. Menurut Keppres itu, TMII merupakan milik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tercatat di Kemensetneg dan pengelolaannya diberikan YKH. Dengan adanya Perpres 19/2021 ini, maka berakhir pula pengelolaan TMII yang selama ini dilakukan oleh YHK.