'Krisis' Nakes, IDI Desak Pemerintah Percepat Uji Kompetensi Dokter dan Suntikan Dosis Ketiga Vaksin COVID-19
ERA.id - Lonjakan kasus COVID-19 berdampak luas pada sektor kesehatan. Selain menyebabkan menipisnya keterisian tempat tidur atau bed ocuupancy rate (BOR) dan fasilitas kesehatan di rumah sakit maupun tempat isolasi terpusat, krisis juga terjadi pada tenaga kesehatan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, masalah utama yang dihadapi di tengah lonjakan kasus COVID-19 adalah kurangnya tenaga dokter, perawat, dan tenaga kesehata atau nakes untuk menangani pandemi virus Corona.
"Masalah yang IDI inventarisir itu pertama adalah, kita kekurangan dokter, perawat, dan nakes. Utama kalau IDI adalah (tenaga) dokter," ujar Wakil Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI seperti dikutip dari kanal YouTube DPR RI pada Selasa (6/7/2021).
Slamet mengatakan, kurangnya tenaga dokter, perawat maupun nakes ini dikarenakan banyak diantara mereka yang kembali terpapar COVID-19 karena membludaknya pasien. Meskipun sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19 secara lengkap, namun beban pekerjaan yang berat berakibat pada daya tahan tubuh sehingga rentan terpapar virus.
Menurut Slamet, tidak sedikit dokter dan perawat maupun nakes yang terinfeksi COVid-19 kemudian meninggal. Walaupun ada juga yang bergejala ringan.
"Banyak tenaga kami, dokter perawat nakes itu menderita sakit terkena COVID-19 walaupun sudah divaksin dua kali dan yang meninggal juga ada," katanya.
Untuk menyelesaikan masalah krisis nakes ini, IDI mendesak pemerintah untuk segera meluluskan dokter yang belum mendapatkan ijazah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Uji kompetensi ini dinilai menghambat kerja sektor kesehatan di tengah pandemi COVID-19.
Slamet mengaku, masalah ini sebelumnya sudah pernah dibicarakan antara IDI dengan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), konsil dokter, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Dirjen Dikti Kemendikbudristek).
Saat itu semua pihak sepakat untuk segera meluluskan dokter yang belum mendapatkan ijazah UKMPPD, namun sampai sekarang belum ada langkah nyata dari Dirjen Dikti. Sehingga, para dokter tersebut tidak bisa ikut diterjunkan untuk membantu menangani pandemi COVID-19.
"Penyelesaian dari masalah SDM ini, kami usulkan agar dokter yang belum lulus UKMPPD ini segera diluluskan. Akan tetapi sampai hari ini belum dieksekusi oleh Dirjen Dikti," ungkap Slamet.
"Jadi kami mohon untuk mempercepat (kelulusan UKMPPD dokter) supaya mempercepat pemenuhan dokter untuk pelayanan menangani COVID-19," imbuhnya.
Selain itu, IDI juga meminta pemerintah memberikan suntikan dosis ketiga vaksin COVID-19. Slamet mengatakan, usulan untuk adanya vaksinasi ketiga bagi nakes ini karena melihat banyak dokter dan perawat yang kembali terpapar COVID-19 meskipun sudah divaksin dua kali.
"Kami mengusulkan juga adalah agar tenaga kesehatan itu dilakukan vaksin yang ketiga. Karena banyak dokter dan nakes sudah terinfeksi dua kali, tapi dia megalami kesakitan (COVID-19) yang sedang sampai sedang bahan meninggal dunia," kata Slamet.
Seperti diketahui, tenaga kesehatan dan petugas medis adalah sasaran pertama program vaksinasi nasional, pemerintah mengklaim nyaris semua nakes sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19 secara lengkap.
Slamet lantas menyingung mengenai efikasi vaksin COVID-19 merek Sinovac yang diberikan kepada nakes. Menurutnya, efikasi dari vaksin buatan China itu datanya masih rancu.
Misalnya, kata Slamet, berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pemerintah Brazil, vaksin Sinovac memiliki efikasi atau keampuhan sebesar 50-51 persen. Sedangkan data di Indonesia menunjukan efikasi vaksin Sinovac lebih besar, yaitu 65 persen.
"Jadi menurut hemat kami, tenaga kesehatan ini harus kita lindungi. Kami mengusulkan agar tenaga kesehatan itu dilakukan vaksin yang ketiga," kata Slamet.
Slamet mengatakan, tanpa perlindungan yang maksimal bagi para nakes maka akan sulit ke depannya dalam menangani pasien COVID-19. "Kerena kalau dalam pelayanan sakit, otomatis tidak bisa melayani pasien dan yang dirugikan adalah pasien. Ini adalah demi kemanusiaan," pungkasnya.