PPKM Level 4 Dianggap Gagal, Alissa Wahid: Data Tak Transparan, Vaksin Tak Merata
ERA.id - Pemerintah diberikan nilai C untuk pelaksanaan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4.
Hal ini disampaikan oleh perwakilan masyarakat sipil dalam konferensi pers ‘Diperpanjang (Lagi): Rapor Masyarakat untuk PPKM Level 4’ yang diadakan oleh Change.org Indonesia
Pemberian nilai ini berdasar pada pendataan yang tidak transparan, pendistribusian vaksin yang tidak merata, fasilitas kesehatan yang belum memadai di luar Jawa hingga bantuan sosial untuk sektor informal.
Dalam konferensi pers, perwakilan masyarakat meminta pemerintah untuk memberikan manajemen krisis yang lebih memadai selama pandemi COVID-19, sebab walaupun sudah memasuki tahun kedua, penanganan COVID-19 masih carut marut.
Presiden Joko Widodo Senin lalu mengumumkan perpanjangan PPKM Level 4 untuk ketiga kalinya hingga 9 Agustus. Sayangnya, kebijakan ini masih dianggap belum bisa mengendalikan keadaan pandemi di Indonesia.
Terutama mengingat bergesernya pusat penyebaran virus dari Jawa ke pulau-pulau di luar Jawa.
“Saya mendapatkan banyak laporan dari Gusdurian, banyak fasilitas kesehatan di luar Jawa ini memprihatinkan. Apalagi saat ini tren pandeminya sudah menyebar ke luar Jawa. Belum lagi distribusi vaksin yang tidak merata, dan banyak sektor informal yang tidak bisa mendapatkan jaminan sosial,” tutur Alissa Wahid, perwakilan dari Gusdurian dan SONJO dan penggagas petisi #TarikRemDarurat di laman Change.org, Jumat (6/8/2021).
Petisi #TarikRemDarurat yang dimulai Alissa kini telah didukung oleh 38.000 warganet. Semuanya menyuarakan permintaan yang sama, agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, bertanggung jawab dan memiliki sikap kepemimpinan yang berlandaskan pada rasa urgensi dan krisis dalam menangani pandemi.
Permintaan ini mungkin terjawab dengan dilaksanakannya kebijakan PPKM Level 4. Namun ternyata, implementasi kebijakan tersebut tidak disertai dengan kebijakan lain yang mendukung, seperti testing dan tracing. Data dari KawalCOVID19.id, menunjukkan bahwa data pandemi yang ada masih belum tersinkronisasi dan kurang transparan. Hal ini terjadi karena berbagai daerah terbukti masih mengetes dan melaporkan sedikit orang.
“Yang perlu didorong saat ini adalah tracing dan transparansi data di daerah, termasuk yang di luar Jawa harus terus ditingkatkan. Apalagi, sepertiga dari seluruh tes PCR di Indonesia terjadi di Jakarta. Jadi, kalau kondisi di Jakarta membaik, Indonesia pun tampak membaik,” ujar Elina Ciptadi, salah satu pendiri KawalCOVID19.id.
PPKM Level 4 juga terbukti belum bisa menurunkan laju kematian masyarakat akibat virus, termasuk para tenaga kesehatan. dr. Adib Khumaidi dari Ikatan Dokter Indonesia memaparkan bahwa lebih dari 100 dokter, utamanya dokter umum, meninggal selama gelombang kedua pandemi ini. Ia juga menyampaikan kondisi yang memburuk di luar Pulau Jawa.
“Fasilitas kesehatan di luar Jawa dengan kondisi keterbatasan dibandingkan dengan faskes di Jawa ini, harus juga dicatat bahwa mereka terbatas tenaga kesehatannya. Pemberdayaan puskesmas bisa dimaksimalkan, terutama fokus pada upaya preventif, promotif dan pembinaan kesehatan wilayahnya, karena puskesmas menjadi tempat rujukan utama untuk masyarakat yang terpapar COVID-19. Apalagi, pola pandemi yang ada di Indonesia itu berbeda dengan yang ada di luar negeri. Maka strategi kewilayahan menjadi penting,” tutur dr. Adib Khumaidi.
Di sisi ekonomi, kebijakan PPKM Level dianggap memberatkan masyarakat, terutama mereka yang bekerja di sektor informal, atau bekerja di kelompok usaha non-esensial yang tidak diperkenankan dibuka.
Menurut Ketua Pengurus Harian SINDIKASI Nur Aini, pekerja freelance selama pandemi pun semakin banyak, sebab pekerja yang memiliki status formal yang sebelum pandemi sekarang beralih ke sektor informal, dan harus banting setir mengganti pekerjaan mereka.
Namun, Nur Aini menganggap bahwa para pekerja informal dan freelance ini belum mendapatkan bantuan yang memadai dari pemerintah.
“Bantuan yang diberikan masih diskriminatif karena belum membantu para pekerja informal. Bantuan langsung tunai bisa didapatkan kalau terdaftar BPJS Ketenagakerjaan, namun sebagai pekerja informal, tentu tidak terdaftar.” ucapnya.
Untuk itulah, pemerintah diberikan nilai C oleh para narasumber di konferensi pers tersebut. Beberapa kemajuan dan perubahan yang terjadi, seperti penurunan keterisian tempat tidur di rumah sakit dan angka vaksinasi mendapatkan apresiasi.
Namun transparansi dan keterbukaan data masih menjadi pertanyaan yang harus diperbaiki oleh pemerintah.
“Pelaksanaan PPKM ini sebenarnya bukti, kalau pemerintah itu bisa meningkatkan testing, angka vaksinasi, kalau memang mereka mau,” tutup Alissa.