Bantah Data Kematian COVID-19 Dihapus, Jubir Luhut Sebut Hanya Tidak Dipakai Sementara, Karena Apa?
ERA.id - Juru Bicara Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jodi Mahardi membantah pemerintah menghapus data kematian akibat COVID-19 untuk dimasukkan ke dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Menurut Jodi, pemerintah hanya tidak menggunakan data kematian sementara waktu untuk merapikan data yang ada, lantaran terjadi penumpukan saat memasukkan data. Akibatnya, menimbulkan bias penilaian asesmen level.
"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," ujar Jodi melalui keterangan tertulis yang dikutip pada Kamis (12/8/2021).
Jodi menjelaskan, pemerintah banyak menemukan angka kematian yang ditumpuk atau dicicil pelaporannya sehingga menyebabkan keterlambatan pelaporan. Hal itu menyebabkan penilaian kurang akurat terhadap penentuan level PPKM di suatu daerah.
"Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," tambahnya. Data yang bias ini menurutnya menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah," kata Jodi.
Dia menambahkan, data yang tak aktual itu juga disebabkan karena banyak kasus aktif yang tidak ter-update selama lebih dari 21 hari. "Banyak kasus sembuh dan angka kematian akhirnya yang belum ter-update," urainya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Jodi menegaskan bahwa pemerintah terus mengambil langkah-langkah perbaikan untuk memastikan data yang akurat.
Meski begitu, pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni seperti BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio ekonomi masyarakat.
"Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan di-include (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi," bebernya.
Perkara data kematian akibat COVID-19 yang dikeluarkan sebagai indikator penilaian level PPKM juga disampaikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Tenaga Ahli Kemenkes Panji Fortuna Hadisoemarto menjelaskan, berdasarkan analisis dari data National All Record (NAR) Kementerian Kesehatan, didapati bahwa pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime dan merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.
NAR adalah sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan COVID-19 yang dikelola oleh Kemenkes.
Berdasarkan laporan kasus COVID-19 di tanggal 10 Agustus 2021, misalnya, dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut atau pada seminggu sebelumnya. Bahkan 10,7 persen diantaranya berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari namun baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.
Menurutnya, ada lebih dari 50 ribu kasus aktif yang saat ini adalah kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat namun belum dilakukan pembaharuannya.
"Kita saat ini sedang mengonfirmasi status lebih dari 50 ribu kasus aktif. Jadi beberapa hari ke depan akan ada lonjakan di angka kematian dan kesembuhan yang bersifat anomali dalam pelaporan perkembangan kasus COVID-19. Tapi ini justru akan menjadikan pelaporan kita lebih akurat lagi," papar Panji.
Sementara Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Widyawati mengakui adanya keterlambatan dalam pembaharuan pelaporan dari daerah akibat keterbatasan tenaga kesehatan dalam melakukan input data akibat tingginya kasus di daerah mereka pada beberapa yang minggu lalu.
"Tingginya kasus di beberapa minggu sebelumnya membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem NAR Kemenkes," kata Widaywati.
"Lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat setidaknya selama dua minggu ke depan," tambahnya.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, pada masa penerapan PPKM Level 3 dan 4 wilaya Pulau Jawa-Bali pada periode 10-16 Agustus 2021 terdapat 26 kabupaten dan kota yang turun level dari level 4 ke level 3. Hal itu, menurutnya, menunjukan perbaikan kondisi di lapangan yang cukup siginifikan.
Adapun bergesernya level di sejumlah daerah tersebut, kata Luhut, akibat pemerintah mengeluarkan data kematian dalam penilaian asesmen level PPKM.
"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian, karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," ujar Luhut dalam konferensi pers daring pada Senin (9/8/2021).